GADO-GADO
LUPA OH LUPA
Tadinya saya tidak percaya kalau ada
orang yang pelupa hingga titik klinis. Hingga akhirnya saya berjumpa kembali
dengan Rien, teman SMP. Secara fisik tidak terlihat kalau penyakit lupanya
sangat akut. Tapi kalau sudah berinteraksi, huh, bikin geregetan.
Saat itu arisan teman-teman SMP di rumah saya.
Hanya tinggal Rien yang belum datang. Karena sudah lebih satu jam dari waktu
yang dijadwalkan Rien belum tiba juga, saya pun berinisiatif meneleponnya.
Alhamdulillah diangkat. Rien bilang dia sudah sampai di toko buku, kira-kira
seratus meter jaraknya dari rumah saya. Tak akan sampai lima menit dia akan
sampai, begitu pikir saya. Tapi setengah jam berlalu, Rien tak kunjung datang.
Kembali saya telepon. Kaget saya mendengarnya karena sekarang posisinya semakin
jauh. Rien akhirnya mengaku kalau dia lupa dimana rumah saya. Olala, padahal
dia sudah dua kali ke rumah saya. Akhirnya untuk menuju ke rumah saya, Rien
saya pandu lewat telepon dan menjemputnya di depan toko buku, tempat pertama
kali dia singgah.
Cukupkah hanya sampai di situ? Oh,
tidak. Setelah arisan selesai dan semua bubar, tiba-tiba saja Rien muncul kembali
di pintu rumah saya. Saya tanya, apa ada yang ketinggalan? Dia menjawab iya,
hanya saja dia lupa barang apa yang ketinggalan. Karena tak ingat juga dan saya
juga tidak melihat apa-apa di ruang tamu tempat arisan berlangsung tadi, akhirnya
Rien pamit untuk kedua kalinya.
Baru saja suara motor Rien menjauh,
mata saya tiba-tiba menangkap sebuah kardus tidak terlalu besar di bawah kursi,
agak menjorok ke dalam. Olala, ternyata kardus itu milik Rien. Dan dia datang mau
mengambil itu karena ketinggalan. Dengan kejadian itu saya hanya bisa tertawa
sendiri dan memikirkan waktu yang tepat untuk mengantarkan kembali kardus itu
ke rumah Rien.
Lain Rien, lain pula suamiku, Uda Adi.
Penyakit lupanya bermula karena kerjaan kantor yang bertumpuk. Sehingga kadang dia
tidak fokus dan melupakan banyak hal.
Uda Adi bekerja di sebuah bank. Menjelang
lebaran, banyak permintaan dari keluarga dan teman-teman saya untuk menukarkan
sejumlah uang yang digunakan untuk salam tempel. Termasuk adik saya, Lia, yang
sangat antusias menukarkan uang karena dia baru bekerja. Lia sangat semangat
sekali menyambut lebaran kali ini dengan uang baru yang akan dia berikan pada
keponakan-keponakannya. Dia pun mengirim sms ke Uda Adi. Dan respons yang
diterima positif. Pulang kantor nanti Uda Adi akan membawakan sejumlah uang
yang minta ditukar. Tapi apa daya, begitu pulang kerja, saya tidak melihat Uda Adi
membawa apa-apa. Begitu saya tanya, dia langsung menepuk jidat dan berkata, sorry,
lupa. Sms Lia ke delete dan dia langsung sibuk dengan kerjaannya karena besok
sudah mulai libur. Gubraak. Bakalan ramai. Olala. Dan saya pun ikut-ikutan menepuk
jidat.
Suatu hari, saya, Uda Adi dan
anak-anak pergi ke Jambi untuk menghadiri pernikahan adik ipar. Uda Adi sudah
memesan tiket pesawat pulang pergi. Sayangnya, saya tidak sempat melihat tiket
itu. Begitu hajatan selesai, ada tenggang waktu dua hari sebelum kembali ke
Jakarta.
Akhirnya tibalah saatnya kami pulang.
Karena lokasi bandara yang tidak terlalu jauh dari rumah, Uda Adi melakukan check in terlebih dahulu,
sedangkan saya menunggu di rumah sambil mempersiapkan anak-anak. Namun setelah
semuanya selesai saya bereskan, Uda Adi tidak pulang-pulang. Perasaan saya
mulai tidak enak. Saya coba telepon tapi tidak diangkat. Syukurlah tak lama kemudian
Uda Adi menelepon. Perlahan dia katakan kalau dia lupa, ternyata seharusnya kami
pulang kemarin. Olala. Karena lupa itulah ia jadi lama di bandara karena harus
membeli tiket baru umtuk kami berempat. Harganya lebih mahal pula!