Rabu, 30 November 2016



GADO-GADO
LUPA OH LUPA

Tadinya saya tidak percaya kalau ada orang yang pelupa hingga titik klinis. Hingga akhirnya saya berjumpa kembali dengan Rien, teman SMP. Secara fisik tidak terlihat kalau penyakit lupanya sangat akut. Tapi kalau sudah berinteraksi, huh, bikin geregetan.
 Saat itu arisan teman-teman SMP di rumah saya. Hanya tinggal Rien yang belum datang. Karena sudah lebih satu jam dari waktu yang dijadwalkan Rien belum tiba juga, saya pun berinisiatif meneleponnya. Alhamdulillah diangkat. Rien bilang dia sudah sampai di toko buku, kira-kira seratus meter jaraknya dari rumah saya. Tak akan sampai lima menit dia akan sampai, begitu pikir saya. Tapi setengah jam berlalu, Rien tak kunjung datang. Kembali saya telepon. Kaget saya mendengarnya karena sekarang posisinya semakin jauh. Rien akhirnya mengaku kalau dia lupa dimana rumah saya. Olala, padahal dia sudah dua kali ke rumah saya. Akhirnya untuk menuju ke rumah saya, Rien saya pandu lewat telepon dan menjemputnya di depan toko buku, tempat pertama kali dia singgah.  
Cukupkah hanya sampai di situ? Oh, tidak. Setelah arisan selesai dan semua bubar, tiba-tiba saja Rien muncul kembali di pintu rumah saya. Saya tanya, apa ada yang ketinggalan? Dia menjawab iya, hanya saja dia lupa barang apa yang ketinggalan. Karena tak ingat juga dan saya juga tidak melihat apa-apa di ruang tamu tempat arisan berlangsung tadi, akhirnya Rien pamit untuk kedua kalinya.
Baru saja suara motor Rien menjauh, mata saya tiba-tiba menangkap sebuah kardus tidak terlalu besar di bawah kursi, agak menjorok ke dalam. Olala, ternyata kardus itu milik Rien. Dan dia datang mau mengambil itu karena ketinggalan. Dengan kejadian itu saya hanya bisa tertawa sendiri dan memikirkan waktu yang tepat untuk mengantarkan kembali kardus itu ke rumah Rien.
Lain Rien, lain pula suamiku, Uda Adi. Penyakit lupanya bermula karena kerjaan kantor yang bertumpuk. Sehingga kadang dia tidak fokus dan melupakan banyak hal.
Uda Adi bekerja di sebuah bank. Menjelang lebaran, banyak permintaan dari keluarga dan teman-teman saya untuk menukarkan sejumlah uang yang digunakan untuk salam tempel. Termasuk adik saya, Lia, yang sangat antusias menukarkan uang karena dia baru bekerja. Lia sangat semangat sekali menyambut lebaran kali ini dengan uang baru yang akan dia berikan pada keponakan-keponakannya. Dia pun mengirim sms ke Uda Adi. Dan respons yang diterima positif. Pulang kantor nanti Uda Adi akan membawakan sejumlah uang yang minta ditukar. Tapi apa daya, begitu pulang kerja, saya tidak melihat Uda Adi membawa apa-apa. Begitu saya tanya, dia langsung menepuk jidat dan berkata, sorry, lupa. Sms Lia ke delete dan dia langsung sibuk dengan kerjaannya karena besok sudah mulai libur. Gubraak. Bakalan ramai. Olala. Dan saya pun ikut-ikutan menepuk jidat.
Suatu hari, saya, Uda Adi dan anak-anak pergi ke Jambi untuk menghadiri pernikahan adik ipar. Uda Adi sudah memesan tiket pesawat pulang pergi. Sayangnya, saya tidak sempat melihat tiket itu. Begitu hajatan selesai, ada tenggang waktu dua hari sebelum kembali ke Jakarta.

Akhirnya tibalah saatnya kami pulang. Karena lokasi bandara yang tidak terlalu jauh dari rumah, Uda Adi  melakukan check in terlebih dahulu, sedangkan saya menunggu di rumah sambil mempersiapkan anak-anak. Namun setelah semuanya selesai saya bereskan, Uda Adi tidak pulang-pulang. Perasaan saya mulai tidak enak. Saya coba telepon tapi tidak diangkat. Syukurlah tak lama kemudian Uda Adi menelepon. Perlahan dia katakan kalau dia lupa, ternyata seharusnya kami pulang kemarin. Olala. Karena lupa itulah ia jadi lama di bandara karena harus membeli tiket baru umtuk kami berempat. Harganya lebih mahal pula!


Setelah membaca majalah gadis, tiba-tiba terbersit keinginan saya untuk menulis. Percikan salah satunya. Saya bisa, begitu kutanamkan semangat dalam diri saat mulai mengayunkan jemari dalam tuts-tuts netbook. Ide yang muncul tentang ikan, karena baru saja kami sekeluarga memancing di Pacet, Mojokerto. Suami sangat suka memancing dan sekarang kesukaan itu turun pada ketiga anak-anak kami. Kecipak ikan yang menari di air begitu indah terlihat. Anak ketigaku yang baru berusia satu setengah tahun selalu menjerit kesenangan melihat ikan yang menggeliat. Dalam kenyamanan tempat dan keteduhan suasana, segaris ide terang di kepalaku. Cepat kusimpan dalam memori dan segera menuangkannya saat kembali ke rumah. Meski tak seperti yang kualami, Percikan "Gara-Gara Ikan" berhasil kutuangkan dan dimuat sebulan kemudian di majalah Gadis, tanggal 19 Desember 2015- 1 Januari 2016. Penutup tahun yang mengesankan. Senang, itu sudah pasti.

Percikan

 GARA-GARA IKAN
Oleh:Puan Murhijriatul

Aku tidak suka makan ikan. Entah kapan mulainya, aku lupa. Yang jelas, begitu melihat ikan, bawaanku alergi saja. Kata mama, waktu aku kecil, saat Mbok Yem, pembantuku memberiku makan ikan, ada durinya yang ikut meluncur masuk ke mulutku, dan duri itu menyangkut di tenggorokanku.

Wajahku merah karena kesakitan. Oleh Mbok Yem aku disuruh minum air yang banyak agar duri itu lepas dari tenggorokanku, tapi tidak berhasil. Aku terbatuk-batuk, berusaha melepaskan duri yang semakin menusuk-nusuk. 

Kejadian itu meninggalkan trauma yang sangat dalam. Aku yang sebelumnya pencinta ikan nomor wahid, tiba-tiba berubah drastis jadi memusuhi ikan.
***
Kejadian siang tadi membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Ceritanya, Hari Minggu besok akan diadakan lomba memancing. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan lomba itu. Hanya saja lomba itu diadakan di pemancingan Kahuripan milik Yunita, cewek yang selama ini lagi aku incar. Aku suka dengan anak baru dari Jakarta itu. Rambutnya hitam sebahu, mirip rambut para model iklan shampoo. Hidung bangir dengan kulit putih. Walaupun nggak tinggi-tinggi amat, Yunita sangat manis.

Lusa Yunita berulang tahun ke tujuh belas. Karena hobi mancing, ulang tahunnya diadakan di pemancingan keluarga. Yang mendapatkan ikan paling besar akan mendapatkan hadiah. Aku sih senang-senang saja dengan ide itu. Nah, masalahnya setelah lomba akan diadakan acara makan-makan yang menunya nggak jauh-jauh dari ikan. Waduh!

"Udah, ikut aja, nanti pas makan-makan, kamu izin pulang, bilang aja ada janji," usul Soni.

"Kan  acara puncaknya justru setelah mancing.Ntar aku nggak bisa pedekate dong sama Yuni,"

 "Yaaa, kita kan cuma mau menyelamatkan muka kamu aja, biar nggak ketahuan kalau kamu alergi sama yang namanya ikan," Soni kesal karena aku ngeyel.

Akhirnya demi setia kawan, aku ikutan juga. Setelah mencari kado yang pas, dalam arti pas diongkos dan juga pas untuk cewek secantik Yunita, kamipun mencari umpan untuk ikan. Katanya, ikan ditempat pemancingan itu ikan Nila. Tanpa ba bi bu, aku segera mencari pelet.
***

Hari yang dinantipun tiba. Pemancingan yang luas itu terlihat sesak. Untung panitianya sudah mengatur tempat. Aku dan Soni dapat tempat yang lumayan teduh. Waktu memancing hanya dua jam. Kulihat Yuni hilir mudik menyapa teman-temannya. Meski mengenakan dres kuning sederhana, tapi dia tetap menarik.

 "Hai Bi, makasih ya bisa ikutan," sapa Yuni. Aku jadi salah tingkah.

"Jarang-jarang ultah pakai lomba mancing nih, keren banget idenya," kataku gombal.

"Ah, itu sih ide bokap. Katanya biar anak-anak mudan ggak melulu megangin gadget, tapi back to nature dan merasakan betapa nikmatnya makan ikan," kata Yuni ceria. Glek, aku menelan ludah.

"Oh iya, iya,"

"Habis mancing kita kumpul-kumpul di aula ya guys," teriak Yuni dari pengeras suara. Riuh suara menyambut kata-kata Yuni. Sesekali pemancingan itu senyap, namun ada saja teriakan gembira jika pancingnya berhasil menangkap ikan. Yuni tersenyum. Ulang tahunnya kali ini memang berbeda. Semua memang ide dari papanya yang prihatin melihat anak-anak zaman sekarang yang lebih suka makan fast food. Mereka jarang yang suka ikan, padahal ikan gizinya sangat tinggi.

"Wah, nggak menang sih, salah info sih," rutukku kesal. Ternyata aku harus memancing ikan gurame. Tak satupun ikan yang berhasil kupancing karena salah umpan.

"Langsung pulang yuk!"aku kesal sekaligus malu kalau sampai ketahuan Yuni karena tak seekor ikanpun yang berhasil kupancing.
***
"Bian, kemarin kok langsung pulang?" tanya Yuni saat jam istirahat.

"Eh, iya, kemarin kepalaku pusing," kataku berkelit.

"Oh, ya udah. Nih, aku bawakan gurame asam manis. Kita makan bareng, yuk. Aku yang masak lho." Yuni tersenyum manis. Glek.

Tanpa menunggu persetujuanku, Yuni langsung membuka bekal makanannya di mejaku. Teman-teman yang lain pada mengelilingi kami. Badanku panas dingin,  apalagi saat Yuni menyuapiku di tengah deru suara sorak sorai teman-teman yang meledek kami. Sonipun ikut-ikutan meledek kami.

Mataku terpejam. Kutelan sepotong ikan asam manis dan mengunyahnya perlahan. Mataku membuka. Nikmat. Tidak terasa ikannya. Masakan Yuni membuang traumaku selama ini,. Ternyata Yuni memfilet ikan itu dan membalutnya dengan tepung sehingga tidak meninggalkan duri yang membuatku trauma. Detik berikutnya, kulahap bekal Yuni tanpa rasa ragu karena lapar. Aku ingat, pagi tadi tak sempat sarapan.



Selasa, 07 Juni 2016


Percikan
TAHU

Aku suka sekali makan tahu. Gulai tahu, semur tahu, pepes tahu,  opor tahu, semua aku suka. Bahkan sekedar goreng tahu plus cabe rawit. Makanya aku sering dijuluki setan tahu. Ini karena setiap mau makan, harus ada hidangan tahu di meja makan.
“Maaf Non, tadi Bik Narti kesiangan belanjanya. Jadinya kehabisan tahu,” kata Bik Narti saat kutanya kenapa hari ini tidak ada suguhan tahu sebagai makan siangku. Aku mendengus kesal. Hilang sudah selera makanku.
“Kan ada ayam kecap, enak lho,” bujuk mama yang mendengar kericuhan di meja makan.
 “Malas ah, Ma,” kuseret langkahku ke kamar. Sebenarnya perutku sudah menjerit minta diisi. Tapi aku tidak berselera melihat menu di meja makan.
“Sekali-kali nggak ada tahu kan nggak apa-apa,” suara mama masih terdengar.
”Hu uh,” aku merutuk kesal. Setelah mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumah, aku segera ke luar, mencari tukang gorengan. Sial, sampai setengah jam aku menunggu, tukang gorengan tak kunjung datang. Lalu kuputuskan ke  jalan besar. Di perempatan jalan besar, depan mini market biasanya ada tukang gorengan yang mangkal. Aku melonjak senang saat melihat abang gorengan sedang memasukan adonan ke dalam penggorengan.
“Bang, tahu dong lima ribu,”
”Wah, tahunya habis, Neng. Baru aja ada yang borong,” sesal Abang gorengan. Mataku mendelik. Cacing-cacing di perutku semakin meronta-ronta. Langkahku gontai saat tiba di rumah. Akhirnya kumakan juga apa yang ada di meja makan. 
“Nih Non, Bik Narti beli tahu yang banyak, biar Non Ara nggak kehabisan tahu lagi,” kata Bik Narti saat aku turun dari kamar atas. Liburan kali ini aku habiskan di rumah, membaca novel yang kupinjam di perpustakaan daerah.
”Beli dimana, Bik?” kulihat Bik Narti memasukan potongan tahu berwarna kuning ke dalam wadah plastik, mencucinya dengan air hangat. Setelah ditiriskan baru dimasukan ke kulkas dalam wadah tertutup. Kata Bik Narti dengan cara itu tahu bisa tahan seminggu.
”Ada yang jual, orangnya ganteng deh Non. Kayaknya seumuran Non Ara” Bik Narti tersipu malu.
”Idih, Bik Narti genit,” godaku. Dan Bik Narti semakin tersipu-sipu.
Gara-gara Bik Narti sering menceritakan pedagang tahu yang ganteng itu, aku jadi  penasaran juga. Minggu pagi, akupun ikut ke pasar, tepatnya maksa ikut.
Setelah naik angkot satu kali, tibalah kami di pasar. Kondisi pasar yang bau dan becek membuatku sempat urung masuk ke dalam. Bik Narti juga kelihatan cemas.
“Non, tunggu di Bakso Mang Jaja aja, biar Bik Narti yang keliling,”
“Beli tahu dulu aja, Bik,”
”Jualan tahunya dekat dengan Bakso Mang Jaja, Non,”
Udah maksa-maksain ikut Bik Narti ke pasar ternyata tuh abang-abang tahu nggak jualan. Sumpah kesal!
”Baru kali ini dia nggak jualan, Non. Bibik cari ditempat lain aja ya, Non.”
Aku mengangguk sambil makan bakso yang kupesan.
“Eh, cewek gaul, kok tumben ada di pasar?” sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Aku menoleh dengan bakso yang masih ada di mulut.  
Wajah Aryo, teman sekelasku yang diam-diam aku sukai terlihat di depan mata. 
”Kamu ngapain di sini?” tanyaku setelah kutelan bakso yang di mulutku.
"Gue lagi jualan tahu, gantiin bokap yang lagi sakit!”
”Huek!” kali ini bakso yang kumakan nyangkut di tenggorokan.
”Hahaha...cewek gaul ternyata ngebaksonya di pasar. Kirain cuma kenal kafe doang,”
”Non, Bibik tadi beli tahu sutra dan Bandung aja,” tiba-tiba Bik Narti sudah muncul di sebelahku.
”Nggak apa-apa, yuk langsung pulang, Bik!”
”Eh, inikan tukang tahu yang sering Bibik ceritain, Non. Kok hari ini nggak jualan, Bang?” seru Bik Narti saat melihat Aryo.
“Saya tadi antar pesanan tahu dulu Bik, jadi baru mau jualan sekarang,”
 ”Bang, Non Ara penasaran banget sama abang sampai maksa ikut Bibik ke pasar buat ketemu abang tahu ganteng langganan Bibik. Tapi kayaknya udah pada kenal ya.”
Wajahku bersemu merah mendengar celotehan Bik Narti. 
Sedangkan Aryo tersenyum-senyum.
”Apa sih Bik, bikin malu aja,” kutarik tangan Bik Narti untuk pulang. Jantungku masih berdegup kencang. Dari jauh masih kudengar tawa keras Aryo.

Depok, 29 Desember 2015
Dimuat di majalah gadis 28 Februari-12 Maret 2016