Senin, 23 September 2019

MENGUNGSI KE MEDAN

Pertama kali mendengar kabar suami di promosikan (Kamis, 25 Agustus 2019) yang akhirnya berujung pada pemindahan daerah dinas, aku shock. Sebenarnya sejak awal tahun ini suamiku sudah mewanti-wanti pindah karena dia sudah dua tahun di Pekanbaru. Membahas itu aku nothing to lose. Biasa saja, bukankah semu itu belum pasti. Bisa iya, bisa juga tidak.

Tapi apa nyana, saat berita itu tiba, tetap saja shock dan sedih. Banyak yang harus ditinggalkan di kota Pekanbaru. Teman-teman dari berbagai latar belakang, lingkungan rumah, sekolah, guru-guru bahkan termasuk teman-teman dari anak-anakku. Kesedihanku semakin bertambah saat anak-anakku menolak dengan tangisan. Aku merasakan apa yang anak-anakku rasakan. Sangat. Karena itu, aku berusaha meredam kesedihan ini dan berusaha menghibur mereka hingga mereka pun menerimanya. Sedangkan aku? aku shalat istikharah, menyerahkan smeua keputusan pada Allah. Selain itu aku meminta saran dari berbagi pihak. Memang selalu ada pro kontra. Yang pro mengatakan, jalani saja semuanya dengan ikhlas insyaAllah ada kebaikan di dalamnya. Sedangkan yang kontra mengatakan, kasihan anak-anak harus beradaptasi lagi, berjauhan dengan suami bukan hal yang buruk kan? Banyak juga yang menjalaninya dan semua baik-baik saja.

Seiring berjalannya waktu, hatiku semakin mantap untuk ikut suami ke Medan. Namun, suami tak kunjung sertijab (serah terima jabatan) karena kesibukan internal. Dalam sebulan, tiga kali bolak balik ke Jakarta untuk meeting dan training. Maqil, anak keduaku yang sudah menyebar berita kepindahannya pada teman-teman sekolahnya, malah tak sabaran ingin segera pindah. Begitu juga dengan si kecil Fatih. Sedangkan aku sendiri merasa lebih tenang saat menyicil packing barang untuk pindahan nanti karena tak diburu-buru waktu.

Tanggal 2 September 2019, suami akhirnya berangkat ke Medan untuk sertijab. Dimulailah Long Distance Relationship (LDR) kami. Karena terbiasa ditinggal dinas oleh suami, aku dan kedua anakku tidak mempermasalahkannya.  Namun masalah dimulai saat asap semakin terasa pekat. Dari Medan suami menyarankan ini itu seperti menyetok susu beruang, minum madu hingga berdiam di rumah. Aku tahu, dia sangat cemas namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku melaksanakan semua perintahnya. Bahkan untuk menghindari anak-anak bermain di rumah, kunci rumah kusimpan ditempat yang sulit dijangkau. AC di kamar pun hampir tak pernah dimatikan.

Namun asap tak bisa dicegah memasuki rumahku yang semaksimal mungkin kututup rapat. Setiap pagi, aku harus menyapu sisa-sisa abu pembakaran yang berserakan di belakang rumah. Pakaian yang kucuci dan kujemur selalu bau asap. Setiap pagi, matahari enggan menampakan sinarnya, nuansa abu-abu menyeruak di langit yang dulu biru. Kepalaku mulai terasa sering pusing. Tenggorokan sakit dan kering. Maqil, matanya selalu saja penuh kotoran dan merah. Malam ketika tidur, aku menyaksikan kedua putraku batuk kering tak henti-henti.

Hari Rabu, 11 September 2019, sekolah anak-anakku resmi diliburkan. Ketika itu sekolah yang lain sudah terlebih dahulu diliburkan. Dua hari full kami berdiam di dalam rumah. Aku sama sekali tidak pergi keluar. Kuhabiskan bahan-bahan yang ada di rumah untuk menyiapkan makanan. Saat persediaan bahan habis untuk diolah, akupun beralih memakai jasa pemesan makanan by ojek online ( terima kasih sebesar-besarnya untuk ojek online ^^).

Asap semakin pekat. Kali ini sebagian rumahku sudah terasa penuh dengan asap, kecuali kamarku yang tak henti-hentinya menyalakan ac. Kulit terasa kering, mata semakin perih serta kerongkongan dan tengorokan kian pedih. Rasa tidak enak itu kutahan karena beberapa hari lagi suamiku akan pulang ke Pekanbaru.

Qadarullah, besoknya tanggal 12 September 2019 saat bangun pagi, hatiku tiba-tiba tergerak untuk mengungsi ke Medan. Saat suamiku menelepon untuk menanyakan kondisi aku dan anak-anak, langsung kukatakan niatku. Suami setju. Dia meng-cancel tiket kepulangannya ke Pekanbaru dan akan menjemputku dan anak-anak di Bandara Kualanamu, Medan.

Siang menjelang sore bahkan hingga Malam, asap semakin pekat. Asap itu bergerak seperti orang yang membakar sampah tak jauh dari komplek, saking pekatnya. Meski dengan kondisi demikian, aku masih menghadiri undangan pengajian tetanggaku pada malam hari yang akan menikahkan anaknya. Masker melekat menutupi mulut dan hidung. Anak-anak kupesankan untuk tidak ke luar rumah. Di pengajian, aku sekalian ijin mengungsi ke esokan harinya. Pulang dari pengajian aku packing hingga larut malam. Saat tidur, aku gelisah. Entah kenapa. Sehingga saat subuh terjaga, badanku masih terasa lelah.

Penerbangan ke Medan menggunakan lion air, pukul 09.20 wib. Satu-satunya pesawat yang ke Medan hari itu. Aku sudah tiba di bandara pukul 08.30 wib. Saat memasuki ruang tunggu, tempat itu sangat padat dengan calon penumpang. Ternyata hampir semua pesawat yang terbang pagi itu delay. Bahkan aku mendengar calon penumpang yang harusnya terbang jam 6 pagi, masih belum berangkat. Di landasan, tak satupun pesawat yang mendarat. Asap sudah membatasi jarak pandang semakin pendek.

Aku berdoa pada Allah, memohon segala kebaikan. Karena dengan ijin dari-Nya, baru semua akan terjadi. Pukul 11.00 wib, satu persatu pesawat mendarat dan satu persatu berangkat menuju daerah tujuan. Begitu juga dengan pesawat yang akan aku tumpangi. Jam setengah dua belas siang aku sudah berada di dalam pesawat meninggalkan bandara Sutan Syarif Kasim II. Satu jam penerbangan aku tiba di bandara Kualanamu, Medan dan bertemu suamiku.

Selama di Medan kami terus memantau perkembangan cuaca dan kondisi udara di Pekanbaru. Namun, hari demi hari kondisi semakin bertambah parah. Korban banyak yang berjatuhan. PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menjadi pionir dibukanya posko pengungsian yang tiap hari semakin bertambah jumlah pengungsinya. Pemerintah? Entahlah. Bagaimana hendak menolong, bahkan ada pejabat pemerintah yang mengatakan kalau kebakaran di Riau tidak separah yang diberitakan :(  Kemana perginya hati nurani mereka. Sekedar bersimpati dan empati itu cukup bagi para korban. Doakan saja agar kami sabar dalam menjalani musibah ini. Kalaupun tidak mau, cukup diam. Minimal tidak membuat hati kami semakin sakit.

Kini, sudah sebelas hari aku mengungsi ke Medan. Pekanbaru-ku memasuki fase #riaudaruratasap . Entah sampai kapan semuanya akan berakhir.

Namun aku yakin, semuanya tidak lepas dari campur tangan Allah. Ada rencana-Nya yang tidak kita ketahui. Sebagaimana rencana-Nya mengirim suamiku pindah dinas ke Medan.


       


Rabu, 30 November 2016



GADO-GADO
LUPA OH LUPA

Tadinya saya tidak percaya kalau ada orang yang pelupa hingga titik klinis. Hingga akhirnya saya berjumpa kembali dengan Rien, teman SMP. Secara fisik tidak terlihat kalau penyakit lupanya sangat akut. Tapi kalau sudah berinteraksi, huh, bikin geregetan.
 Saat itu arisan teman-teman SMP di rumah saya. Hanya tinggal Rien yang belum datang. Karena sudah lebih satu jam dari waktu yang dijadwalkan Rien belum tiba juga, saya pun berinisiatif meneleponnya. Alhamdulillah diangkat. Rien bilang dia sudah sampai di toko buku, kira-kira seratus meter jaraknya dari rumah saya. Tak akan sampai lima menit dia akan sampai, begitu pikir saya. Tapi setengah jam berlalu, Rien tak kunjung datang. Kembali saya telepon. Kaget saya mendengarnya karena sekarang posisinya semakin jauh. Rien akhirnya mengaku kalau dia lupa dimana rumah saya. Olala, padahal dia sudah dua kali ke rumah saya. Akhirnya untuk menuju ke rumah saya, Rien saya pandu lewat telepon dan menjemputnya di depan toko buku, tempat pertama kali dia singgah.  
Cukupkah hanya sampai di situ? Oh, tidak. Setelah arisan selesai dan semua bubar, tiba-tiba saja Rien muncul kembali di pintu rumah saya. Saya tanya, apa ada yang ketinggalan? Dia menjawab iya, hanya saja dia lupa barang apa yang ketinggalan. Karena tak ingat juga dan saya juga tidak melihat apa-apa di ruang tamu tempat arisan berlangsung tadi, akhirnya Rien pamit untuk kedua kalinya.
Baru saja suara motor Rien menjauh, mata saya tiba-tiba menangkap sebuah kardus tidak terlalu besar di bawah kursi, agak menjorok ke dalam. Olala, ternyata kardus itu milik Rien. Dan dia datang mau mengambil itu karena ketinggalan. Dengan kejadian itu saya hanya bisa tertawa sendiri dan memikirkan waktu yang tepat untuk mengantarkan kembali kardus itu ke rumah Rien.
Lain Rien, lain pula suamiku, Uda Adi. Penyakit lupanya bermula karena kerjaan kantor yang bertumpuk. Sehingga kadang dia tidak fokus dan melupakan banyak hal.
Uda Adi bekerja di sebuah bank. Menjelang lebaran, banyak permintaan dari keluarga dan teman-teman saya untuk menukarkan sejumlah uang yang digunakan untuk salam tempel. Termasuk adik saya, Lia, yang sangat antusias menukarkan uang karena dia baru bekerja. Lia sangat semangat sekali menyambut lebaran kali ini dengan uang baru yang akan dia berikan pada keponakan-keponakannya. Dia pun mengirim sms ke Uda Adi. Dan respons yang diterima positif. Pulang kantor nanti Uda Adi akan membawakan sejumlah uang yang minta ditukar. Tapi apa daya, begitu pulang kerja, saya tidak melihat Uda Adi membawa apa-apa. Begitu saya tanya, dia langsung menepuk jidat dan berkata, sorry, lupa. Sms Lia ke delete dan dia langsung sibuk dengan kerjaannya karena besok sudah mulai libur. Gubraak. Bakalan ramai. Olala. Dan saya pun ikut-ikutan menepuk jidat.
Suatu hari, saya, Uda Adi dan anak-anak pergi ke Jambi untuk menghadiri pernikahan adik ipar. Uda Adi sudah memesan tiket pesawat pulang pergi. Sayangnya, saya tidak sempat melihat tiket itu. Begitu hajatan selesai, ada tenggang waktu dua hari sebelum kembali ke Jakarta.

Akhirnya tibalah saatnya kami pulang. Karena lokasi bandara yang tidak terlalu jauh dari rumah, Uda Adi  melakukan check in terlebih dahulu, sedangkan saya menunggu di rumah sambil mempersiapkan anak-anak. Namun setelah semuanya selesai saya bereskan, Uda Adi tidak pulang-pulang. Perasaan saya mulai tidak enak. Saya coba telepon tapi tidak diangkat. Syukurlah tak lama kemudian Uda Adi menelepon. Perlahan dia katakan kalau dia lupa, ternyata seharusnya kami pulang kemarin. Olala. Karena lupa itulah ia jadi lama di bandara karena harus membeli tiket baru umtuk kami berempat. Harganya lebih mahal pula!


Setelah membaca majalah gadis, tiba-tiba terbersit keinginan saya untuk menulis. Percikan salah satunya. Saya bisa, begitu kutanamkan semangat dalam diri saat mulai mengayunkan jemari dalam tuts-tuts netbook. Ide yang muncul tentang ikan, karena baru saja kami sekeluarga memancing di Pacet, Mojokerto. Suami sangat suka memancing dan sekarang kesukaan itu turun pada ketiga anak-anak kami. Kecipak ikan yang menari di air begitu indah terlihat. Anak ketigaku yang baru berusia satu setengah tahun selalu menjerit kesenangan melihat ikan yang menggeliat. Dalam kenyamanan tempat dan keteduhan suasana, segaris ide terang di kepalaku. Cepat kusimpan dalam memori dan segera menuangkannya saat kembali ke rumah. Meski tak seperti yang kualami, Percikan "Gara-Gara Ikan" berhasil kutuangkan dan dimuat sebulan kemudian di majalah Gadis, tanggal 19 Desember 2015- 1 Januari 2016. Penutup tahun yang mengesankan. Senang, itu sudah pasti.

Percikan

 GARA-GARA IKAN
Oleh:Puan Murhijriatul

Aku tidak suka makan ikan. Entah kapan mulainya, aku lupa. Yang jelas, begitu melihat ikan, bawaanku alergi saja. Kata mama, waktu aku kecil, saat Mbok Yem, pembantuku memberiku makan ikan, ada durinya yang ikut meluncur masuk ke mulutku, dan duri itu menyangkut di tenggorokanku.

Wajahku merah karena kesakitan. Oleh Mbok Yem aku disuruh minum air yang banyak agar duri itu lepas dari tenggorokanku, tapi tidak berhasil. Aku terbatuk-batuk, berusaha melepaskan duri yang semakin menusuk-nusuk. 

Kejadian itu meninggalkan trauma yang sangat dalam. Aku yang sebelumnya pencinta ikan nomor wahid, tiba-tiba berubah drastis jadi memusuhi ikan.
***
Kejadian siang tadi membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Ceritanya, Hari Minggu besok akan diadakan lomba memancing. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan lomba itu. Hanya saja lomba itu diadakan di pemancingan Kahuripan milik Yunita, cewek yang selama ini lagi aku incar. Aku suka dengan anak baru dari Jakarta itu. Rambutnya hitam sebahu, mirip rambut para model iklan shampoo. Hidung bangir dengan kulit putih. Walaupun nggak tinggi-tinggi amat, Yunita sangat manis.

Lusa Yunita berulang tahun ke tujuh belas. Karena hobi mancing, ulang tahunnya diadakan di pemancingan keluarga. Yang mendapatkan ikan paling besar akan mendapatkan hadiah. Aku sih senang-senang saja dengan ide itu. Nah, masalahnya setelah lomba akan diadakan acara makan-makan yang menunya nggak jauh-jauh dari ikan. Waduh!

"Udah, ikut aja, nanti pas makan-makan, kamu izin pulang, bilang aja ada janji," usul Soni.

"Kan  acara puncaknya justru setelah mancing.Ntar aku nggak bisa pedekate dong sama Yuni,"

 "Yaaa, kita kan cuma mau menyelamatkan muka kamu aja, biar nggak ketahuan kalau kamu alergi sama yang namanya ikan," Soni kesal karena aku ngeyel.

Akhirnya demi setia kawan, aku ikutan juga. Setelah mencari kado yang pas, dalam arti pas diongkos dan juga pas untuk cewek secantik Yunita, kamipun mencari umpan untuk ikan. Katanya, ikan ditempat pemancingan itu ikan Nila. Tanpa ba bi bu, aku segera mencari pelet.
***

Hari yang dinantipun tiba. Pemancingan yang luas itu terlihat sesak. Untung panitianya sudah mengatur tempat. Aku dan Soni dapat tempat yang lumayan teduh. Waktu memancing hanya dua jam. Kulihat Yuni hilir mudik menyapa teman-temannya. Meski mengenakan dres kuning sederhana, tapi dia tetap menarik.

 "Hai Bi, makasih ya bisa ikutan," sapa Yuni. Aku jadi salah tingkah.

"Jarang-jarang ultah pakai lomba mancing nih, keren banget idenya," kataku gombal.

"Ah, itu sih ide bokap. Katanya biar anak-anak mudan ggak melulu megangin gadget, tapi back to nature dan merasakan betapa nikmatnya makan ikan," kata Yuni ceria. Glek, aku menelan ludah.

"Oh iya, iya,"

"Habis mancing kita kumpul-kumpul di aula ya guys," teriak Yuni dari pengeras suara. Riuh suara menyambut kata-kata Yuni. Sesekali pemancingan itu senyap, namun ada saja teriakan gembira jika pancingnya berhasil menangkap ikan. Yuni tersenyum. Ulang tahunnya kali ini memang berbeda. Semua memang ide dari papanya yang prihatin melihat anak-anak zaman sekarang yang lebih suka makan fast food. Mereka jarang yang suka ikan, padahal ikan gizinya sangat tinggi.

"Wah, nggak menang sih, salah info sih," rutukku kesal. Ternyata aku harus memancing ikan gurame. Tak satupun ikan yang berhasil kupancing karena salah umpan.

"Langsung pulang yuk!"aku kesal sekaligus malu kalau sampai ketahuan Yuni karena tak seekor ikanpun yang berhasil kupancing.
***
"Bian, kemarin kok langsung pulang?" tanya Yuni saat jam istirahat.

"Eh, iya, kemarin kepalaku pusing," kataku berkelit.

"Oh, ya udah. Nih, aku bawakan gurame asam manis. Kita makan bareng, yuk. Aku yang masak lho." Yuni tersenyum manis. Glek.

Tanpa menunggu persetujuanku, Yuni langsung membuka bekal makanannya di mejaku. Teman-teman yang lain pada mengelilingi kami. Badanku panas dingin,  apalagi saat Yuni menyuapiku di tengah deru suara sorak sorai teman-teman yang meledek kami. Sonipun ikut-ikutan meledek kami.

Mataku terpejam. Kutelan sepotong ikan asam manis dan mengunyahnya perlahan. Mataku membuka. Nikmat. Tidak terasa ikannya. Masakan Yuni membuang traumaku selama ini,. Ternyata Yuni memfilet ikan itu dan membalutnya dengan tepung sehingga tidak meninggalkan duri yang membuatku trauma. Detik berikutnya, kulahap bekal Yuni tanpa rasa ragu karena lapar. Aku ingat, pagi tadi tak sempat sarapan.



Selasa, 07 Juni 2016


Percikan
TAHU

Aku suka sekali makan tahu. Gulai tahu, semur tahu, pepes tahu,  opor tahu, semua aku suka. Bahkan sekedar goreng tahu plus cabe rawit. Makanya aku sering dijuluki setan tahu. Ini karena setiap mau makan, harus ada hidangan tahu di meja makan.
“Maaf Non, tadi Bik Narti kesiangan belanjanya. Jadinya kehabisan tahu,” kata Bik Narti saat kutanya kenapa hari ini tidak ada suguhan tahu sebagai makan siangku. Aku mendengus kesal. Hilang sudah selera makanku.
“Kan ada ayam kecap, enak lho,” bujuk mama yang mendengar kericuhan di meja makan.
 “Malas ah, Ma,” kuseret langkahku ke kamar. Sebenarnya perutku sudah menjerit minta diisi. Tapi aku tidak berselera melihat menu di meja makan.
“Sekali-kali nggak ada tahu kan nggak apa-apa,” suara mama masih terdengar.
”Hu uh,” aku merutuk kesal. Setelah mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumah, aku segera ke luar, mencari tukang gorengan. Sial, sampai setengah jam aku menunggu, tukang gorengan tak kunjung datang. Lalu kuputuskan ke  jalan besar. Di perempatan jalan besar, depan mini market biasanya ada tukang gorengan yang mangkal. Aku melonjak senang saat melihat abang gorengan sedang memasukan adonan ke dalam penggorengan.
“Bang, tahu dong lima ribu,”
”Wah, tahunya habis, Neng. Baru aja ada yang borong,” sesal Abang gorengan. Mataku mendelik. Cacing-cacing di perutku semakin meronta-ronta. Langkahku gontai saat tiba di rumah. Akhirnya kumakan juga apa yang ada di meja makan. 
“Nih Non, Bik Narti beli tahu yang banyak, biar Non Ara nggak kehabisan tahu lagi,” kata Bik Narti saat aku turun dari kamar atas. Liburan kali ini aku habiskan di rumah, membaca novel yang kupinjam di perpustakaan daerah.
”Beli dimana, Bik?” kulihat Bik Narti memasukan potongan tahu berwarna kuning ke dalam wadah plastik, mencucinya dengan air hangat. Setelah ditiriskan baru dimasukan ke kulkas dalam wadah tertutup. Kata Bik Narti dengan cara itu tahu bisa tahan seminggu.
”Ada yang jual, orangnya ganteng deh Non. Kayaknya seumuran Non Ara” Bik Narti tersipu malu.
”Idih, Bik Narti genit,” godaku. Dan Bik Narti semakin tersipu-sipu.
Gara-gara Bik Narti sering menceritakan pedagang tahu yang ganteng itu, aku jadi  penasaran juga. Minggu pagi, akupun ikut ke pasar, tepatnya maksa ikut.
Setelah naik angkot satu kali, tibalah kami di pasar. Kondisi pasar yang bau dan becek membuatku sempat urung masuk ke dalam. Bik Narti juga kelihatan cemas.
“Non, tunggu di Bakso Mang Jaja aja, biar Bik Narti yang keliling,”
“Beli tahu dulu aja, Bik,”
”Jualan tahunya dekat dengan Bakso Mang Jaja, Non,”
Udah maksa-maksain ikut Bik Narti ke pasar ternyata tuh abang-abang tahu nggak jualan. Sumpah kesal!
”Baru kali ini dia nggak jualan, Non. Bibik cari ditempat lain aja ya, Non.”
Aku mengangguk sambil makan bakso yang kupesan.
“Eh, cewek gaul, kok tumben ada di pasar?” sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Aku menoleh dengan bakso yang masih ada di mulut.  
Wajah Aryo, teman sekelasku yang diam-diam aku sukai terlihat di depan mata. 
”Kamu ngapain di sini?” tanyaku setelah kutelan bakso yang di mulutku.
"Gue lagi jualan tahu, gantiin bokap yang lagi sakit!”
”Huek!” kali ini bakso yang kumakan nyangkut di tenggorokan.
”Hahaha...cewek gaul ternyata ngebaksonya di pasar. Kirain cuma kenal kafe doang,”
”Non, Bibik tadi beli tahu sutra dan Bandung aja,” tiba-tiba Bik Narti sudah muncul di sebelahku.
”Nggak apa-apa, yuk langsung pulang, Bik!”
”Eh, inikan tukang tahu yang sering Bibik ceritain, Non. Kok hari ini nggak jualan, Bang?” seru Bik Narti saat melihat Aryo.
“Saya tadi antar pesanan tahu dulu Bik, jadi baru mau jualan sekarang,”
 ”Bang, Non Ara penasaran banget sama abang sampai maksa ikut Bibik ke pasar buat ketemu abang tahu ganteng langganan Bibik. Tapi kayaknya udah pada kenal ya.”
Wajahku bersemu merah mendengar celotehan Bik Narti. 
Sedangkan Aryo tersenyum-senyum.
”Apa sih Bik, bikin malu aja,” kutarik tangan Bik Narti untuk pulang. Jantungku masih berdegup kencang. Dari jauh masih kudengar tawa keras Aryo.

Depok, 29 Desember 2015
Dimuat di majalah gadis 28 Februari-12 Maret 2016

Minggu, 02 Februari 2014

ALLAH MENUNJUKAN KUASA-NYA

Rasanya sebuah kenekatan disaat udara yang tidak menentu hingga hujan yang terus mengguyur Depok, Dewan Kemakmuran Masjid Nurul Iman memutuskan untuk mengadakan acara Maulid Nabi. Bukan acara Maulid Nabi-nya yang aneh, tapi lokasi yang direncanakan justru di lapangan terbuka bermandikan langit malam. Tempatnya pun berjarak kurang lebih 100 meter dari masjid.

Maka tak heran jika pro kontra pun bermunculan meski akhirnya rencana awal tetap diteruskan dengan pertimbangan tempat tetap di udara terbuka, hanya saja berpindah, tepat di perempatan masjid. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi buruknya udara seperti hujan yang berkepanjangan dan deras yang masih saja tak bosan membasahi Kota Depok.

Rasanya doa tak putus-putus dipanjatkan panitia yang terdiri DKM Masjid Nurul Iman, Ketua RW, Ketua PKK RW, Ketua RT 1-7 RW 013, Ketua PKK RT 1-7, Ketua Majlis Taklim RT 1-7 dan Ketua Majlis Taklim tingkat RW beserta semua anggota baik tersirat maupun tersurat agar saat acara hujan tak turun. Apalagi acarapun dibuat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dengan menampilkan 14 penceramah. Wow, rasanya menunggu saat acara itu tiba diliputi kecemasan luar biasa. Dan memang tak ada yang bisa dilakukan selain berdoa setelah berikhtiar luar biasa.

Sehari menjelang acara, tenda tempat acara pun dipasang dengan ditemani gerimis halus yang tidak henti sejak pagi. Udara begitu sejuk dan  dingin. Check sound system pun terus terdengar dari dalam masjid. Usai tenda dipasang, music islamipun berkumandang. Semarak rasanya.

Hari H pun tiba, tanggal 1 Pebruari 2014. Mentari mulai bersinar, masih sejuk seperti hari-hari yang lalu. Perlahan tapi pasti Sang Surya terus merayap naik bahkan mampu mengeringkan pakaian-pakaian yang terkukung lama di dalam rumah. Meski ada rinai yang turun, namun hanya sesaat. Matahari tak pernah lama bersembunyi di balik awan.

Panggung tempat acara berlangsungpun didirikan. Anak-anak berlarian seakan ikut bergembira karena dapat dispensasi bermain lebih lama di luar rumah. Angin bertiup perlahan hingga langit pun mengelam menuju malam.

Allah Maha Kuasa. Ketakutan acara berjalan tak sesuai harapan tak terjadi. Malam bertabur bintang-bintang. Masyarakat, mulai anak-anak; ibu-ibu hingga bapak-bapak; membanjiri jalanan tempat acara berlangsung. Angin pun tak bertiup. Semua terasa damai.

Acara yang dimulai jam 8 malam itupun berakhir hingga jam 12 malam. Saat mata tak tahan untuk terpejam, acara usai. Desahan syukur senantiasa terdengar. Hujan tak turun, bahkan rinai pun enggan mengganggu. Setelah panitia membereskan pernak pernik acara dan kembali ke rumah masing-masing, terdengar rinai menyambut di susul hujan yang mulai deras. Allahu Rabbi, Kuasa-Mu sungguh tak bertepi. Tak mungkin semua itu terjadi tanpa campur tangan-Mu. Engkau yang menurunkan hujan, Engkau pula yang menghentikannya.

Satu hari usai acara, hujan terus mengguyur bumi. Depok pun kembali dirudung dingin yang tak bertepi.

Depok, 2 Pebruari 2014

Kamis, 23 Januari 2014

Buatnya gampang kok, yang nggak biasa masak juga dijamin sukses deh bikinnya, asal ada niat :D. Enak untuk hari hujan (mentang-mentang sekarang musim hujan) atau untuk sarapan pagi. Saya biasanya membuat ini kalau kebetulan lupa punya pisang eh keburu matang. Biar jadi bernilai buat lidah, yang diolah dikit, eng ing eng...enak:D

GODOK PISANG
Bahan:
5 buah Pisang tanduk. uli/raja/ kapok yang sudah kematangan.
2 sendok gula pasir atau sesuai selera
1 butir telur
1/4 tepung beras
1 bungkus vanili
garam 1/4 sendok teh
Minyak untuk menggoreng

Cara membuatnya:
Hancurkan pisang dengan ditekan-tekan pakai sendok. Masukan telur, gula, vanili dan garam. Setelah tercampur masukan tepung beras. Uleni hingga tercampur semua bahan. Goreng sedikit demi sedikit. Enak disantap saat panas.

Hujan-hujan rasanya tidak enak kalau tidak menyantap sop. Kali ini, saya mengolah sop ayam, selain mudah membuatnya, anak-anak juga suka (anak-anak apa sih yang nggak dia suka :p). Sop ayam juga kaya gizi dan menghangatkan tubuh karena kaya rempah. Oke deh, stay tune aja dulu. Eits, kalau resepnya ada yang beda, sah-sah aja ya soalnya kan resep pribadi :D. Saatnya berbagi...

SOP AYAM
 Bahan:
1/2 ekor ayam, potong 8 atau 10 atau sesukanya termasuk ceker
1 buah wortel, potong bulat 1 cm
1 buah kentang ukuran sedang potong 12 bagian atau sesuai selera
2 buah daun bawang, iris 1 cm
daun seledri secukupnya, ikat
3 siung bawang merah, iris, goreng, sisihkan
1 buah bawang Bombay ukuran kecil
2 cm kayu manis
3 buah cengkeh
3 buah kapulaga
1,5 lt air

Bumbu halus:
10 butir merica bulat
5 buah bawang putih
garam secukupnya

Cara membuatnya:
Rebus ayam hingga air tinggal 1 lt bersama sedikit garam, kayu manis, kapulaga dan cengkeh. Masukan wortel, kentang dan daun seledri. Masukan bumbu halus yang telah ditumis ke dalam rebusan ayam. Setelah matang matikan api. Sajikan sop dengan daun bawang dan bawang goreng.