Selasa, 06 Maret 2012

CERPEN

JADIKAN AKU SAHABATMU

            Pedih. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk melukiskan suasana hatiku sore ini. Sore yang syahdu dengan  gerimis yang perlahan turun membasahi jalanan berdebu. Menyebar bau tanah yang menusuk bulu-bulu hidung. Membasahi pohon-pohon yang kokoh berdiri ditempatnya. Membasahi atap-atap rumah yang memainkan irama lembut. Indah jika dimaknai dengan cinta. Tapi semua keindahan itu raib bersama duka yang kini menghuni perasaanku. Mengharu biru dan bersemayam disudut hatiku yang paling dalam.
            “Assalamu’alaikum…tok…tok…tok!” kuketuk perlahan pintu rumah yang tertutup rapat. Sunyi. Aku gelisah. Angin dingin terus saja menyusup, menembus pori-pori kulitku. Aku menggigil.
            “Assalamu’alaikum…!” . Tak ada jawaban. Tapi aku yakin ada orang di dalam. Pintu pagar yang tidak dikunci menguatkan keyakinanku. Suasana rumah begitu sepi, lampu luar pun tidak menyala. Sebuah ide tiba-tiba melesat di kepalaku.
            Kriing…kriing…kriing… bunyi telepon terdengar menjerit dari dalam rumah.
            Klek…terdengar suara pintu di buka.  Langkah kaki  menuju  telepon.
            Ups…hampir saja aku terbawa suasana. Kumatikan segera ponselku sebelum telepon dijawab.
            “Assalamu’alaikum…tok..tok..!” kukeraskan suaraku. Kali ini aku bersaing dengan hujan yang semakin deras.
            “Wa’alaikumsalam, sebentar ya…!” akhirnya…
            Aku bersandar pada dinding yang juga sudah terimbas hujan, dingin dan lembab. Pandanganku menelusuri halaman rumah Uni Ermi, sepupu Santi yang lumayan luas. Tanaman apotik hidup banyak menghiasi setiap sudut halaman. Pohon Sirsak berayun-ayun mengikuti irama angin. Bunga-bunga mawar merunduk menyambut limpahan air dari langit. Aku mengeratkan dekapanku. Sweaterku sudah basah sebagian.
            Klek…handle pintu bergerak ke bawah, tak lama...
            “Ya Allah, Nina…masuk-masuk, sudah lama? Aku buatin susu dulu ya atau mau ganti baju atau…!” wajah Santi tampak khawatir.
            Aku menggeleng.  Mataku memanas. Terenyuh.
            “Ke kamarku dulu ya, aku mau bikin minuman!” Santi  tersenyum. Langkah-langkah lincahnya yang kerap kulihat di kampus beranjak menuju dapur. Tak lupa dia hidupkan lampu ruang tamu yang semula gelap.
            “Sudah lama di luar?” Santi membawa dua gelas minuman. Salah satunya disodorkan untukku. Aku tidak menjawab. Kunikmati uap panas dari susu coklat. Kami sama-sama membisu. Meoong…gubraak…Kami sama-sama terkejut dan kemudian tertawa.
            “Puuus!” Santi berteriak . “Bikin kaget saja.  Eh, udah jam berapa ya?” tiba-tiba Santi tersentak dan melirik weker kuning gadingnya.
“Astaghfirullah, jam lima. Aku shalat Ashar dulu ya!” Santi bergegas bangkit dan tergesa ke kamar mandi.
             Perlahan sekali kubuka jilbabku yang basah dan kugantung  di dinding bercat putih. Kamar Santi  terlihat artistik. Aneka benda daur ulang menghiasi meja belajarnya  yang tidak pernah rapi. Di ujung meja, dalam pigura kayu berukiran halus, terpampang foto kami berdua. Saat itu kami baru pulang demo di gedung  DPRD. Entah angin dari mana tiba-tiba terbersit keinginanku untuk foto berdua dengan Santi. Padahal saat itu kami berkeringat setelah berjalan cukup jauh dari kantor gubernur ke kantor DPRD bersama iring-iringan mahasiswa yang lain. Untung saja di tasku selalu tersedia baby powder. Lumayanlah untuk menyapu wajah kami yang berminyak di siang yang cukup terik.
            “Hai, melamun!” tepukan lembut di bahuku membuat semua memori yang sedang bermain di anganku pupus. Aku terkesiap.
            “Biasa deh…!” Aku pura-pura ngambek.
            “Kenapa sih dari tadi manyun terus, jelek tau!” Santi melompat ke atas tempat tidurnya. Didekapnya bantal guling bersarung hijau lumut.
            “Uni Ani, San…, aku nginap sini ya?” Aku menatap wajah oval di hadapanku. Santi  menatapku sesaat dan kemudian mengangguk. Dia memang sudah paham semua masalahku.
“Boleh, kita kerjain PR Akuntansi Biaya ya…?” Aku mengangguk. Sebelum berangkat tadi walaupun dalam keadaan gamang, aku masih menyempatkan diri menyiapkan tugas untuk kuliah besok.
            “Uni kemana, San?”
            “Ketempat tugas uda di Bukit Tinggi. Untung kamu datang, jadi aku ada teman!” Santi tertawa.
            “Kamu kayak nggak punya beban ya San, ketawa terus!” Aku mencubit hidung mancung Santi.
            “Adaaow…!”
***
            Aku mengambil  bangku di sudut. Salah satu pelarianku kalau sedang sedih. Dari balik jendela, mataku bisa leluasa memandangi ulah mahasiswa yang bersliweran di sepanjang koridor. Pandanganku jatuh pada rumput-rumput hijau yang tertata rapi dan sebuah bangku taman  yang meringkuk indah ditengah-tengahnya.
            “Ninaaa…!” aku menoleh kearah suara yang amat kukenal.
“Idih, manggilnya kayak aku jauh,”
 Santi tertawa.
            “Rajin banget, pagi-pagi udah datang!” seru Santi.
            “Kamu aja yang malas, kuliah udah mau mulai baru datang !”
ujarku sewot. Santi kembali tertawa. Giginya yang putih berderet rapi .
            “Kebablasan, tadi malam ngobrol sama uni sampai lupa waktu!”
            “Hidup kamu enak ya, ceria!” ujarku pelan. Aku iri melihat jalan hidupnya yang jauh dari masalah. Sedangkan aku…
            “Nin, jangan mulai lagi deh!” Santi menatapku kecewa. Aku mengalihkan pandangan keluar. Kupejamkan mata yang mulai memanas. Dalam gelap aku bisa melihat putaran film kehidupan yang kulalui. Sebuah rumah besar di sebelah timur kota Padang yang tidak pernah sunyi dari pertengkaran. Rumah itu tidak seperti yang orang lihat, terasa sempit bagi penghuninya. Pertengkaran demi pertengkaran terus menghiasi hari demi hari. Uni Ani, kakak keduaku sering berteriak-teriak. Dia mengatai-ngatai mama karena suaminya tidak diijinkan lagi  tinggal bersama kami. Suami Uni Ani hanya tersenyum sinis melihat pertikaian ibu dan anak. Uni membanting-banting piring. Mama berteriak-teriak ketakutan sambil berlari keluar rumah. Papa hanya bisa meneteskan air  mata. Lelaki yang dulu gagah itu hanya mampu menatap kelakuan anak kesayangannya  itu memaki-maki dirinya yang tidak mampu berbuat apa-apa lagi sejak stroke menyerangnya. Suami Uni Ani tersenyum,  menyeringai bak serigala. Aku benci. Dadaku bergemuruh menyaksikan mama dan papa dihujat oleh anaknya sendiri. Anak yang dibesarkan dengan limpahan kasih sayang. Anak yang diistimewakan dari enam orang saudaranya yang lain. Air mataku kembali menetes. Segera kukejar mama dan membawanya dalam pelukan. 
            “Nin…!” aku menoleh. Butiran embun kurasa masih ada di sana, disudut mataku. Santi merangkulku. Gadis yang sangat mengerti dukaku. Gadis yang senantiasa menjadi acuanku dalam bersikap sebagai manusia dewasa.
            “Jangan cengeng ah, katanya mujahidah!” Santi melepaskan rangkulannya. Teman-teman yang lain sudah pada datang.
            “Sabar ya,” tuturnya lembut. Aku merasa nyaman di samping Santi. Dukaku berangsur-angsur pulih jika didekatnya. Santi mengambil posisi di sebelahku. Kami bisa saling bercerita, karena kuliah  jam ini sangat membosankan.
***
            “Assalamu’alaikum…!”
            “Wa’alaikumsalam…masuk yuk San!” seruku begitu melihat sosok sahabatku di pintu pagar. Hari Minggu yang cerah setelah beberapa hari ini hujan melanda kota Padang. Awan putih bagaikan untaian kapas di cakrawala yang merayap perlahan menebarkan kesejukan. Pagi ini aku sibuk membersihkan bercak-bercak tanah yang mengotori lantai keramik putih teras rumahku. Hujan menyisakan lumpur di mana-mana. Sinar matahari jam sepuluh pagi terasa sehat di kulit.
            “Sibuk?”
            “Enggak, ini sih kerjaan sehari-hari. Ponakanku bandel-bandel, bikin kotor terus!” ujarku.
            “Di kamar aja ya!” aku segera menuju kamar. Suami Uni baru keluar dari kamar. Matanya merah karena baru bangun tidur. Dia menyapa kami, namun kusambut  dengan senyuman tipis. Di ruang tengah langkahku terhenti oleh suara keras.
            Den indak amuah tau, bagi warisan kini atau ama tse nan pai dari siko!” nada amarah memenuhi ruangan 3x3 meter. Langkahku semakin cepat untuk menghindari suara-suara keras itu. Tapi tetap saja suara itu memenuhi gendang telingku. Santi hanya terdiam.
            “Masuk aja, maaf ya kamarku berantakan!” aku berusaha tersenyum. Namun tak urung mataku berkaca-kaca.           
            Aku tak sanggup berpura-pura. Dadaku turun naik menahan isakan. Santi membawaku dalam pelukannya.
            “Aku…aku…tidak sanggup lagi, San!” suaraku tersekat. Mataku semakin panas. Air mataku berhamburan keluar. Santi membisu. Namun wajah itu pun kulihat sendu.
            “Sabar, Nin, innallaha ma’asshobirin!” tutur Santi pelan. Tangannya membelai-belai punggungku. Aku berusaha kuat. Kuhapus dengan kasar butir-butir air mata yang selalu membuatku kelihatan  cengeng. Kupeluk bantal dan kutelungkupkan wajahku perlahan. Suasana hening.
            “Kita mulai belajar ya…!” Santi  berusaha mencairkan suasana. Aku mengangkat wajahku. Mukaku sembab. Aku menggeleng.
            “Kayaknya kita tidak bisa belajar di sini. Uni kalau sudah marah bisa seharian,” aku memasukan buku untuk ujian besok ke dalam tas. Santi hanya diam menunggu.         “Kita ke masjid ya, di sana lebih tenang buat belajar!” aku bergegas keluar diikuti Santi. Aku merasa bersalah padanya. Rencananya kami akan membahas soal-soal intermediate. Besok hari pertama kami ujian semester. Beribu permasalahan di rumah membuat konsentrasi belajarku agak terpecah.
***
            “Hai!” tepukku kasar. Santi menoleh. Matanya sedikit memerah. Santi mencoba tersenyum.
            “Kenapa, San?” tanyaku hati-hati. Tidak biasanya wajah Santi sedikit muram. Masalah nilai rasanya nggak mungkin. Kemarin aku baru melihat KHSnya, IPnya 3,29, bukan sesuatu yang patut disesali.
            “Kita ke kafe MIPA yuk…!” ajakku. Santi mengangguk tanpa berusaha menjawab. Kami berjalan beriringan menyusuri koridor kampus. Mahasiswa banyak yang duduk-duduk di lantai, hanya beralaskan selembar koran. Menikmati  kue kecil yang dijual amak-amak.
            “Duh, bete  deh kalau kamu diam!” Aku mulai hilang kesabaran. Tadinya aku mau cerita banyak ke Santi tentang perubahan di keluargaku. Uni Ani sudah pergi ke Lampung bersama suaminya. Mama sudah membagi warisan yang menjadi hak Uni. Tadinya aku tidak terima karena warisan baru bisa dibagikan kalau orangnya sudah meninggal. Tapi mama berusaha menenangkanku, katanya ini untuk kebaikan semua. Sejak pertengkaran-pertengkaran masalah warisan, sakit papa semakin parah. Kami tidak kuasa menyakiti lebih dalam lagi  pahlawan keluarga yang dulu selalu menghujani kami dengan limpahan materi. Uni mendapat sawah dan tabek yang langsung dijualnya. Uangnya langsung mereka bawa ke Lampung, katanya untuk usaha. Kini tidak ada lagi suara-suara melengkingnya yang senantiasa terdengar melawan mama dan papa.  Tidak ada lagi suami Uni Ani yang kerjanya hanya tidur-tiduran, yang tiap hari hanya menghasung Uni untuk meminta warisan pada kedua orangtuanya yang belum meninggal.
            Namun, keceriaanku juga sirna. Aku kadangkala kangen dengan ketiga keponakanku. Mereka sudah mampu memberi ruang kerinduan di sudut hatiku. Aku  kasihan jika mereka di sana tidak diajarkan mengaji dan shalat. Selama tinggal bersama, aku berusaha mendekati makhluk-makhluk kecil itu. Kurengkuh mereka jika pertengkaran-pertengkaran mulai terjadi. Kuajak mereka ke surau untuk mengaji dan berlatih shalat berjamaah. Aku rindu dengan wajah imut mereka.  Tidak bisa kubayangkan jundi-jundi itu akan berkembang seperti apa nantinya dengan kedua orangtua yang tidak pernah peduli pada agama. Begitu banyak yang ingin kuceritakan…
            “Pesan apa, San?’ kutatap mata yang kosong itu. Santi terkesiap. Aku tahu kalau dia tadi melamun.
            “Gado-gado aja, Nin!” ujar Santi pelan. Aku menatapnya curiga. Santi  membuang pandangannya ketempat lain.
            “Santi…aku mengajakmu ketempat ini karena ingin makan pempek!” ujarku berhati-hati. “Disini tidak ada gado-gado!”
            “Terserah!” jawaban singkat yang tidak kuperkirakan sebelumnya. Aku segera beranjak memesan makanan kesukaan kami berdua. Aku tidak ingin berlama-lama larut dalam kediaman Santi. Mahasiswa MIPA hampir seluruhnya  datang ke kafe. Kalau tidak cepat, aku takut tidak kebagian.
            “Dimakan San, jangan didiamin aja, nanti keburu dingin, nggak enak!” aku memasukan potongan demi potongan pempek kapal selam ke mulutku. Santi makan dalam diamnya.
            “Nin!” suara Santi terdengar pelan. Aku mengangkat wajahku, menunggunya bicara kembali. Santi mengaduk-aduk teh botol yang juga dipesannya.
            “Kamu hebat ya, kuat!” ujar Santi tiba-tiba. Santi berusaha tersenyum. Tapi kurasa itu hanya upayanya untuk menutupi resah yang bermain di matanya. Aku mengerutkan kening, berusaha memahami arah bicaranya.
            “Aku ingin cari kos, tolong carikan ya…!” Santi menatapku penuh harap. Aku segera mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut. Tapi nalarku segera berjalan.
***
            “Hai…!” kepalaku melongok kedalam kamar Santi. Seperti biasa, kamar itu berantakan dengan pernak-pernik kesayangan Santi. Santi menyambutku dengan senyuman.
            “Darimana?” tanya Santi. Tangannya sibuk melipat baju-bajunya yang baru kering dari jemuran.
            “Dari rumah, kangen aja mau main kesini!” aku segera menuju tempat tidur Santi, meraih gulingnya yang bersarung hijau lumut.
            “Dapat salam dari mama, katanya kok kamu jarang main ke rumah lagi?” aku menghidupkan kipas angin mungil. Santi lagi-lagi tersenyum.      
            “Aku mau ke rumah kamu kalau kamunya yang masak!” ledek Santi. Aku mencibir. Santi tahu kekuranganku, tidak bisa masak. Aku tidak bisa membedakan mana merica dan ketumbar. Kunyit, Lengkuas dan Jahe, aku juga tidak tahu. Benar-benar payah. Tapi kalau pelajaran kuliah, dia boleh mengandalkanku. Ehm…
            “Boleh, kapan maunya?” tantangku. Padahal aku hanya ingin mengajaknya menginap dirumahku, kita bisa curhat. Terus terang aku masih penasaran dengan sikap dinginnya  beberapa hari yang lalu.
            “Habis aku nyetrika baju ini ya!” putus Santi dan aku bersorak dalam hati.
***
            “Ini salahku, tidak seharusnya aku tinggal lama di rumah uni!” Santi memulai ceritanya. Aku surprise, belum kucoba mengorek rasa penasaranku, tapi ia sudah mau bercerita. Kuperhatikan wajahnya yang masih seperti dulu, putih dan cantik. Tapi mata itu seperti menyimpan gundah. Kudengarkan dengan serius.
            “Tapi kan dia  sepupumu!” potongku. Santi mengangguk.
            “Iya, tapi seharusnya aku tahu diri. Ya, setidaknya selama kos aku lebih tenang.” Santi terdiam sejenak, mengatur desahan nafasnya yang memburu karena menahan sesak.
            “Aku dan uni beda sepuluh tahun. Setelah menikah selama delapan tahun dan tidak mempunyai anak, aku tahu kalau perasaan uni tertekan dan…uni merasa cemburu dengan kehadiranku di sana. Suaminya kalau ada apa-apa minta pendapatku, entah itu masalah politik Indonesia ataupun sekedar menu masakan. Aku harus tahu diri ketika uni tidak meyapaku bahkan menghasut suaminya untuk ikut membenciku. Aku tidak bisa apa-apa dan kurasa keputusan ini adalah keputusan yang terbaik…!” ujar Santi perlahan. Cerita mengalir tenang dari bibirnya. Matanya berkaca-kaca. Tapi di sana kulihat ketegaran.
            “Apa yang dilakukan uni? Boleh aku tahu?” tanyaku hati-hati. Mata Santi menghujam langit-langit kamar yang jarang kubersihkan.
            “Aku dianggap tidak ada. Mereka kalau ngobrol hanya berdua…dan kalau aku ingin bergabung mereka diam,”. Hatiku ikut pedih mendengar pengakuan Santi. Aku merasakan bagaimana  menjadi orang yang tersisih.
            “Sejak kapan kamu merasa tidak nyaman dengan keadaan itui?” tanyaku perlahan. Aku takut pertanyaanku akan menyinggung perasaannya.
            “Semester dua,” suara Santi tercekat. Aku terhenyak, tidak menyangka dia bisa menyimpan semuanya begitu lama. Ya, tinggal dengan perasaan seperti itu selama satu tahun dan menyimpannya rapat-rapat dariku yang selalu mengaku sebagai sahabatnya. Aku tertegun tak tahu harus berbuat apa.
            “Dulu kamu sering cerita kalau malam suka ngobrol dengan uni sehingga sering kesiangan, aku pikir…,” kalimatku menggatung.
            “Ya, tapi hanya jawaban ya dan tidak yang aku terima. Saat itu aku mencoba bertahan karena akan ujian akhir,”
            “Kulihat uni baik waktu aku ke rumahmu,”
            “Uni memang baik dengan semua orang, tapi tidak denganku. Aku dianggap saingannya. Aku harap dengan kepergianku, uni bisa lebih baik,”. Aku menatap sahabatku yang sibuk mengeringkan air mata dengan tissue.
             Sahabat? Kata-kata itu begitu menohok hatiku. Sahabat macam apa aku yang tidak memahami keadaan sahabatnya sendiri. Atau aku memang sengaja tidak mau tahu  dan selalu menganggap masalahku lebih berat dari masalahnya. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, kadangkala manusia itu butuh teman untuk berbagi. Untuk menumpahkan segala resah hati. Aku tidak pernah memberi kesempatan kepada Santi untuk bercerita. Selalu aku yang mendominasi. Aku merasa Santi selalu ceria, tidak punya masalah dan...rasa bersalahku semakin menggumpal.
             Seharusnya aku sadar kalau Santi bersikap ceria hanya untuk membuatku tersenyum. Santilah yang sebenarnya sahabat, sedangkan aku? Sekali lagi aku merasa malu dengan Santi dan benar-benar iri.
             Ah, aku ingin benar-benar menjadi sahabatnya, sahabat yang tidak hanya mampu menuangkan semua permasalahannya, tapi juga mampu memahami kondisi sahabatnya. Yang bisa membedakan keceriaan dalam kesedihan dan memahami tertawa dalam tangis. Aku yakin aku bisa. Kutatap Santi. Santi menghapus tetesan air mata dengan ujung kelingkingnya. Bibirnya ditarik keatas. Sebuah senyuman hadir di sana.
            “Terima kasih ya, Nin,”
            Aku mengerutkan kening. “Terima kasih untuk apa?”
            “Semuanya. Untuk semua ketegaran, kesabaran dan kesediaanmu mendengarkan ceritaku . Aku banyak belajar darimu. Sekarang aku lega bisa berbagi denganmu!”
            “Ngeledek, aku kan cengeng dan nggak perhatian!” Kukelitik pinggang Santi. Dia histeris sambil berlari keluar kamar. Mama yang melihat hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Keterangan:
Den indak amuah tau, bagi warisan kini atau ama tse nan pai dari siko: Saya tidak mau tahu, bagi warisan sekarang atau mama saja yang pergi dari sini
Tabek: Tambak
By: Puan
          Jakarta, 30 Maret 2004
Cerpen ini dimuat di majalah Muslimah tahun 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar