Senin, 05 Maret 2012

CELOTEH ANAK


                                                   MUBAZIR
Aku sering mengatakan kepada Ammar (4 tahun 6 bulan), sulungku, kalau makan tidak boleh mubazir karena mubazir itu temannya setan. Selain itu kasihan abi yang sudah bekerja mencari uang, pergi pagi pulang malam.
”Mubazir itu apa, Ma?” tanya Ammar suatu hari.
”Mubazir itu, membuang-buang makanan seenaknya. Itu sama saja tidak sayang abi.” Kataku. Ammar mengangguk-angguk tanda mengerti.
Suatu hari Ammar batuk. Batuknya tidak juga berhenti. Aku memberinya jeruk nipis dengan kecap karena untuk batuk biasa saya tidak membiasakannya memakai obat kimia. Untuk sementara Ammar beristirahat dan tidak pergi sekolah supaya teman-temannya tidak ketularan dan Ammar bisa cepat pulih.
Dua hari di rumah, Ammar minta masuk sekolah lagi. Aku tidak masalah karena batuknya juga sudah reda. Aku menasihatinya agar tidak jajan sembarangan. Kepada gurunya aku katakan kalau Ammar tidak masuk karena batuk. Jadi tolong dilihat agar Ammar tidak jajan sembarangan. Kekhawatiranku beralasan, karena di sekitar sekolah Ammar banyak bersliweran tukang jajanan yang bagiku tidak sehat. Namun bagi anak-anak itu jajanan yang menggiurkan. Aku tidak pernah memberi Ammar uang untuk jajan, tapi ada saja temannya yang berbagi dengan membelikannya jajanan.
Waktunya pulang sekolah dan aku sudah menunggu lebih dari sepuluh menit. Tiba-tiba Bu Inez, guru Ammar, mendatangiku dengan wajah khawatir dan rasa bersalah.
”Mama, maaf tadi Ammar jajan gulali. Saya suruh buang tidak mau.”
“Oh, iya tidak apa-apa, Bu.” Kataku sambil tersenyum. Meski begitu hati saya ciut juga mengingat batuk Ammar yang belum reda benar. Tapi aku menahan untuk tidak langsung menanyakannya. Di rumah saat makan siang, baru aku tanyakan apa yang disampaikan Bu Inez tadi.
”Kok tadi jajan gulali, Nak?”
”Dibelikan Raya, Ma. Ammar bilang nggak mau tapi tetap dibelikan. Kan Raya baik.”
”Iya, Raya memang baik tapi kan Ammar bisa bilang kalau Ammar lagi batuk jadi tidak boleh makan gulali,” kataku lagi. Ammar diam, tidak menjawab.
”Waktu ibu Inez suruh buang kok Ammar nggak mau?”
“Kata mama kan nggak boleh buang-buang makanan, nanti mubazir, ya udah Ammar habisin aja.” Kata Ammar dengan polos.
Aku terhenyak. Tidak menyangka bahwa Ammar mengingat apa yang pernah aku katakan. Di satu sisi aku senang karena ternyata Ammar merekam baik-baik apa yang aku katakan. Disisi lain ternyata Ammar belum paham mana yang dikatakan mubazir  mana yang tidak. Lalu perlahan aku jelaskan kalau mubazir di sini maksudnya makanan yang baik yang tidak membuat penyakit. Allah menyuruh kita makan-makanan halal dan baik yang tentu saja menyehatkan. Kalau makanan yang tidak sehatkan kasihan tubuh kita. Ammar boleh makan gulali tapi setelah sehat dan tidak batuk. Dan gulalinya juga gulali yang tidak pakai zat pewarna dan pemanis buatan. Mendengar penjelasanku Ammar lagi-lagi mengangguk. Kupeluk dia dalam dekapanku. Bersyukur aku dikaruniai putra yang cerdas.
Depok, 9 Juni 2011

MAU MASUK TV
Ammar senang sekali menonton TV. Tentu setelah menonton ada saja adegan yang ditirunya. Karena itu aku sangat menseleksi tayangan yang pantas ditontonnya. Bagaimanapun yang namanya anak-anak tidak bisa memilah mana tayangan yang bagus atau tidak.
Suatu hari aku kecolongan. Ammar yang biasanya berkata baik tiba-tiba menjadi kasar bicaranya. Ketika aku Tanya siapa yang mengajarkan, Ammar bilang Wonder Wadon di super hero. Karena penasaran akhirnya aku ikut menonton. Baru menonton sebentar, aku sudah menilai kalau film itu tidak layak ditonton oleh anak-anak. Pakaian dan bicara yang tidak pantas membuat tayangan ini kularang ditonton. Ammar menurut, meski kadang-kadang dia masih merayuku.
”Sekali aja ya, Ma!” pintanya. Aku menggeleng.
”Tidak boleh!” kataku tegas. Sekali tidak boleh tetap tidak boleh. Tidak bisa ditawar lagi. Sekali saja kita memberi kesempatan, maka anak akan memintanya lagi dan lagi.
”Kenapa tidak boleh?” Ammar masih belum terima.
”Karena bicaranya tidak sopan. Pakaiannya juga mengumbar aurat. Anak mamakan anak yang sholeh jadi tidak boleh menonton acara yang tidak baik,” jelasku.
Suatu hari Ammar mendatangiku yang sedang memasak.
”Ma, Ammar mau dong masuk TV!”
Wah, permintaan yang cerdas. Pikiranku berkelana. Jangan-jangan Ammar berminat main sinetron kayak Baim, atau presenter di televisi. Tapi kok tiba-tiba ya. Penasaran, langsung kutanyakan alasannya.
”Memangnya kenapa Ammar mau masuk TV?”
”Ammar masuk TV, tapi di Super Hero.”
What? Ternyata masih nggak jauh-jauh dari Super Hero.
“Ammar mau bilangin ke orang-orang di Super Hero, jangan ngomong elo, gue, kurang ajar. Biar anak-anak bisa nonton. Bajunya juga yang nutup aurat.”
Kata-kata Ammar membuatku terharu. Aku memang membiasakan berkata-kata yang baik. Ammar jadi janggal kalau ada orang yang berkata kasar dan jorok. Dia langsung menyuruhku menegur orang itu. Di rumah juga aku selalu mengajarkan menutup aurat. Untuk perempuan memakai jilbab jika keluar rumah dan laki-laki tidak dibiasakan memakai celana pendek apalagi celana dalam meskipun di dalam rumah. Tak kusangka apa yang aku terapkan mengena di hati anak-anakku. Aku ingin niatku menjadikannya anak yang sholeh tercapai. Amin.
Depok, 9 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar