Selasa, 06 Maret 2012

CERPEN

KOTAK AMAL YANTO


" DUKA YOGYA DUKA BERSAMA atau  PEDULI YOGYA yang keren ya?"tanya Yanto pada diri sendiri sambil sibuk mencoret-coret karton putih di hadapannya.
"Buat apaan sih Bang?"tanya Yanti adiknya yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Yanto tersentak kaget tapi langsung mampu mengendalikan diri.
"Baca dong, baca! Masak udah mahasiswa masih aja nggak paham,"cerocos Yanto bikin kesel.
"Yanti tahu, tentang bencana di Yogya itu kan?"
"Lha, tahu kok nanya!"
"Memangnya siapa yang mau ke Yogya?"
"Sudah sana, bawel!"gertak Yanto membuat mulut gadis di depannya manyun, maju tiga centi. Sambil menghentak mahasiswi tingkat satu di Jakarta itu berlalu dari kamar Yanto. Yanto kembali sibuk dengan aktivitasnya.
"Ehm…beres,"wajahnya terlihat puas. Setelah membereskan kamarnya, Yanto memencet nomor hp yang sangat dikenalnya.
"Lo mau bantuin gue kan? Ok, fifty-fifty deh. Sampai besok ya!" Klik.
***
Siang yang panas. Yanto dan teman-temannya sudah mangkal di halte daerah Utan Kayu, Jakartas Timur. Tampangnya kusam karena seharian menunggui kotak amal buatannya.
"Lumayan, tadi gue lihat ada orang yang masukin uang lima ribuan, kaya besar kita, ha…ha…ha…!"Sobri tertawa keras.
"Sssttt…jangan keras-keras, ketahuan bisa runyam kita!"bisik Yanto sengit. Sobri masih tertawa tapi tidak sekeras tadi.
"Ide lo boleh juga," Yanto melambung dipuji begitu. Saat menyaksikan berita gempa di Yogya kemarin tiba-tiba terbersit keinginannya mendapatkan uang cuma-cuma. Cukup bermodal nekat dan kardus bekas Mie Instan.
"Sssttt…tuh banyak orang yang mau ke sini!"desak Yanto.
"Ok, bos!"Sobri tersenyum konyol. Selanjutnya dia sibuk menghampiri orang-orang yang berjalan ke halte sambil meneriakan,
"Bantuan untuk Yogya. Ayo bapak-bapak, ibu-ibu, tante-tante, om-om, silahkan berbagi. Sedikit harta yang kita sumbangkan sangatlah bermanfaat untuk kelangsungan hidup saudara-saudara kita di sana. Kalau tidak sekarang kapan lagi kita berbuat untuk kemanusiaan?"
Cring…recehan sampai lembaran dua puluh ribuan melayang masuk ke dalam kardus. Sobri masih saja mengoceh. Yanto tersenyum senang. Dalam urusan ini Sobri memang patut diacungkan jempol. Kemampuannya berkata-kata layak diandalkan.
"Lumayan To,"kata Sobri sambil menggoyang-goyangkan isi kardus yang semuanya uang. Halte sudah tidak begitu ramai lagi. Matahari sudah berganti tugasnya dengan rembulan. Pertengahan bulan ini purnama tampak gagah di atas sana.
"Lo hebat!"Yanto menepuk-nepuk bahu Sobri.
"Siapa dulu dong, Sobri bin Supardi, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas…,"
"Stop…stop…! Ke rumahku dulu ya, setelah dihitung baru kita bagi dua, gimana?"
"Turja, atur aja!"
***
         Sudah tiga hari Yanto dan Sobri melakukan aksi kemanusiaan "PEDULI YOGYA". Kali ini tempat mangkal mereka pindah ke jembatan penyebrangan di depan Terminal Depok. Alasannya sekedar variasi dan mencari suasana yang baru, biar orang-orang yang biasa mampir di halte nggak bosan tiap hari lihat tampang mereka. Kali ini mereka tidak harus teriak-teriak tapi cukup meletakkan kotak itu tidak jauh dari tempat lesehan mereka. Bersaing dengan  pengemis yang kelihatannya sudah lama menguasai tempat itu. Tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
"Banyak yang nggak nyebrang lewat sini To, tuh, mereka langsung nyebrang dari depan terminal!"tunjuk Sobri. Mata Yanto mengikuti arah telunjuk Sobri. Pejalan kaki menyebrang langsung tanpa lewat jembatan penyebrangan. Menjelang  sore mereka baru dapat sedikit itu karena yang lewat anak-anak ABG yang mau mejeng ke Plaza Depok.
"Wah, hari ini kita sial, dapat buat makan siang aja udah untung!"keluh Sobri.
"Besok kalau mau mangkal kita lihat situasi dulu biar nggak kayak sekarang!"kata Yanto sambil membereskan barang-barang mereka.
"Mau mampir ke rumah gue?"tawarnya. Sobri menggeleng.
"Gue langsung aja, lagian rumah gue dekat dari sini,"Sobri nyengir.
"Ya udah, sampai besok ya,"      
***
Yanto memasuki rumahnya dari pintu samping setelah terlebih dulu meletakkan kotak amalnya di gudang. Badannya bau peluh. Ingin rasanya langsung bertemu air dan mandi, membasahi raganya yang pasti sangat banyak kotoran ini. Tapi kerongkongannya haus. Niat ke kamar mandi ia urungkan. Di bukanya kulkas. Di ruang keluarga orangtuanya tampak serius menonton televisi.
"Gimana sih pemerintah, bencananya sudah tiga hari tapi bantuan belum ada yang sampai ke tangan yang berhak. Jangan-jangan di korupsi lagi!"cetus bapak.
"Sudah jelas itu Pak, lha wong pemerintah bilang sudah mengucurkan bantuan. Memangnya Yogya sejauh apa sih, sampai berhari-hari belum sampai juga,"kata ibu gemas. Mau tak mau Yanto ikut bergabung juga dengan diskusi menarik itu.
"Kenapa, Bu?" Ibu menoleh sebentar lalu kembali matanya menyorot tajam layar kaca.
"Kamu ya jadi mahasiswa harus sigap. Kalau ditunggu kinerja pemerintah kasihan yang kena bencana. Mereka sudah kelaparan, kedinginan, luka parah. Masak iya untuk membantu saja harus ngejlimet gitu urusannya. Aku yang bodoh atau pemerintah yang terlalu pintar ya Pak?"kata ibu nelangsa. Tiba-tiba Yanto merasa tertohok.
"Di DPR juga ributnya masalah pemberian nama, apakah ini bencana nasional atau nggak. Duh, kalau gini terus bagaimana mereka bisa ditangani dengan cepat?" Bapak menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa sekali-kali mereka ditimpa musibah dulu biar bisa ngerasain penderitaan orang?"tanya ibu kenes.
"Ya nggak gitu Bu, mungkin bantuannya aja yang belum merata, jadi dibesar-besarkan oleh pers,"Yanto berusaha meredam suasana yang sudah mulai panas.
"Lihat tuh lihat, truk-truk bantuan diserbu warga, kelihatan kan kalau mereka nggak dibuat-buat. Mereka benar-benar kelaparan. Jangan sampai warga yang masih hidup menyusul mereka yang sudah mati akibat reruntuhan!"mata ibu berkaca-kaca. Tak lama setetes bening mengalir di wajahnya yang mulai keriput.
"Ibu nggak bisa ngebayangin gimana kalau anak-anak ibu di sana,"isak ibu pelan. Bapak segera mematikan TV. Matanya juga sudah mulai merah.
"Kamu tahu di mana ibu bisa menyalurkan bantuan?"tanya ibu tiba-tiba. Yanto tergeragap.
"Sama Abang aja Bu, beberapa hari ini Yanti lihat Abang sibuk ngadain penggalangan  dana sama temannya!"seru Yanti yang ikutan berbaur. Yanto melotot ke arah adik bungsunya itu. Tapi Yanti melengos dan terus aja bicara.
"Hari ini kok Abang nggak ada lagi di halte dekat kampus Yanti?"pertanyaan Yanti membuatku seperti disambar geledek. Yanto baru ingat kalau halte tempat dia mangkal bersama Sobri untuk PEDULI YOGYA dekat dengan kampus adiknya itu. Yanto lupa, benar-benar lupa. Tadinya dia pikir tempat itu sudah paling jauh dari kampusnya di Senen dan rumahnya di Lenteng Agung.
"Oh, jadi kamu sudah punya inisiatif untuk membantu Yogya? Bagus-bagus. Kalau gitu lebih baik Bapak salurkan saja bantuan lewat kamu,"kata Bapak sambil menepuk-nepuk pundak Yanto. Matanya menyiratkan kebanggaan. Tapi membuat Yanto tidak berkutik dan seperti terhempas ke kubang kehinaan.
"Ibu juga punya baju-baju bekas layak pakai, nanti ibu kasih. Tadi siang sudah ibu pisahkan. Tak ibu sangka ternyata diam-diam kamu langsung bertindak,"ibu menatap Yanto lekat dengan senyuman khasnya. Yanti tersenyum-senyum. Yanto yakin dia tidak sengaja membuatku seperti ini, tepatnya tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya membuat Yanto seperti pesakitan.
"Nanti aja dilanjutkan lagi ya Pak, Bu. Yanto mau mandi dulu, gerah!"kata Yanto sambil berlalu ke kamar mandi.
Usai mandi pikiran Yanto menerawang. Bapak dan ibu masih menonton berita. Mereka baru beranjak setelah sajian berita di televisi usai, berganti dengan sinetron-sinetron picisan.
Dia meremas rambutnya untuk menghalau pusing yang mulai merayapi kepalanya. Badannya panas dingin mengingat harapan-harapan ibu dan bapak. Ditendangnya sudut kaki meja belajar.
"Aaooww…," Yanto menjerit kecil. Ring tone lagu Demi Waktu-nya Ungu mengalun dari ponsel Yanto. Sobri?
"Kapan? Besok? Boleh. Aku siap-siap malam ini!" Yanto segera berlari keluar kamar.
"Bu, baju untuk korban Yogya bisa dibungkusin sekarang?"
"Pak, kalau teman-teman bapak mau nyumbang, secepatnya ya. Besok jam sepuluh pagi aku dan teman kampusku berangkat ke Yogya," Mendengar kata-kata Yanto, Bapak, Ibu dan Yanti bergerak cepat. Tak terkecuali Iyah, pembantunya. Malu-malu ia menyerahkan uang dua puluh ribu.
"Iyah, cuma bisa bantu segini, Mas," Mata Yanto memanas. Kembali terbayang di ingatannya uang pemberian orang-orang di halte yang sudah di hambur-hamburkannya. Makan-makan, beli kaset VCD. Padahal orang-orang yang memberikan sumbangan itu sangat berharap banyak bantuannya sampai kepada yang berhak. Ide gila yang harus ditembus dengan sejuta penyesalan. Yanto tidak mau orang tuanya tahu kalau anaknya punya bibit-bibit korupsi. Mahasiswa yang pandai berkoar hapuskan korupsi malah melakukan perbuatan bodoh itu. Mungkin Sobri sudah sadar, buktinya tadi dia mengajak Yanto jadi sukarelawan ke Yogya. Yanto nggak tahu kenapa Sobri cepat insyaf. Yanto nggak perlu tahu. Buktinya Yanto juga tersadar dengan percakapan ringan tadi. Apakah ini yang namanya hidayah? Tiba-tiba Yogya tempatnya KKN dulu sudah bermain diingatannya. Tiba-tiba Yanto merasa sangat dekat dengan kota kenangan itu. Yogya, I'Coming.
Jakarta, 31 Mei 2006
By: Puan
Cerpen ini dimuat di majalah Sabili tahun 2006






Tidak ada komentar:

Posting Komentar