Selasa, 06 Maret 2012

CERPEN

                                        PARDI INGIN DUDUK

            Jess...jess...jess...suara  laju kereta ekonomi berpadu dengan suara pedagang-pedagang yang bersliweran menawarkan dagangannya. Pardi merapatkan tubuhnya, memberi jalan pada penjual jeruk. Sore yang indah tidak dapat dinikmati semua penumpang kereta. Padatnya muatan membuat  semua orang berfikir untuk segera tiba di tujuan. Diluar, pohon-pohon dan rumah saling berkejaran seperti memburu waktu. Bau-bau keringat penumpang tumpah jadi satu, menebarkan aroma tak sedap yang mengusik-usik bulu hidung.
            Pardi melirik penumpang  di depannya yang mengangguk-angguk menahan kantuk. Senja yang temaram ditambah angin semilir yang masuk lewat jendela membuat mata sulit diajak kompromi.  Angannya melambung. Keinginannya untuk dapat duduk sangat kuat. Selama  menyicipi kereta, belum pernah sedetik pun dia merasakan nikmatnya duduk diantara kepadatan penumpang. Pfuih…Pardi menarik nafas panjang.
            Bulan lalu kontrakannya di Kalibata habis dan untuk memperpanjangnya didaerah yang sama dia tidak sanggup. Upahnya sebagai  buruh pabrik elektronik tidak jauh dari tempat tinggalnya hanya cukup untuk mengontrak  rumah petak  di daerah pinggiran Jakarta.  Biaya hidup yang semakin tinggi memaksa bujangan yang baru beberapa tahun di Jakarta itu memutar otaknya. Akhirnya ia sampai ke Bojong Gede. Ratno, sepupuhnya yang dagang minuman di stasiun Depok baru yang memberinya kabar.
            Kini genap sebulan Pardi menghirup udara Bojong Gede dan sebulan pula ia menikmati  perjalanan kereta api yang dirasanya kian hari semakin penuh sesak. Sejak 30 tahun lalu ia belum pernah merasakan pertarungan mendapat tempat di dalam kereta. Desa Gunung Kidul tempat ia melalui masa kecilnya tidak menyediakan transportasi kereta api. Jangankan kereta, angkot dan bis pun hanya satu-satu. Semua itu tidak membuatnya ingin mencoba. Pengalaman teman-temannya yang sudah pernah mengecap kehidupan kereta sangat tidak menyenangkan. Tidak sedikit dompet teman-temannya yang hanya buruh seperti dirinya raib dari tempatnya. Menjamurnya pencopet bukan  rahasia umum lagi.  Apalagi di kereta yang merupakan  tempat rawan bagi si panjang tangan beraksi.                                                                      
            “ UI...UI...yang turun di stasiun UI siap-siap!”suara-suara penumpang membuat Pardi tersadar dari lamunan. Dilihatnya keluar. Kereta baru saja meninggalkan stasiun Lenteng Agung.
            “Masih lama, masih ada enam stasiun lagi!”desahnya lirih. Orang didepannya tampaknya begitu lelah. Derit rem dan bisingnya suara penumpang tidak kuasa mengusik tidur  lelaki paruh baya itu. Perempuan yang duduk disebelah lelaki itu masih cekikikan dengan beberapa rekannya. Orang-orang disekitarnya merutuk-rutuk karena suaranya yang terus berkicau menambah gerah suasana. Pardi terus menanti-nanti. Dia melamun lagi. Seandainya dia dapat duduk, dia akan tidur nyenyak. Dia tidak akan peduli dengan orang sekitar, tidak peduli dengan perutnya yang mulai berbunyi meminta jatah untuk diisi. Seandainya...ah, seandainya...ups...hampir saja Pardi terjungkal kesamping kalau saja ia tidak langsung berpegangan pada besi diatas kepalanya. Masinis mengerem mendadak. Para penumpang bersungut-sungut. Pardi merasakan jantungnya berdegup kencang. Langit sudah mulai gelap. Malam menjelang. Sayup-sayup suara adzan magrib mengalun mengisi rohani yang hampa. 
Kereta meninggalkan stasiun Depok Baru. Penumpang tidak sesesak seperti pertama kali  ia naik. Namun, tempat duduk masih saja penuh. Pardi menggeser tubuhnya ke pintu. Stasiun Bojong Gede  sudah hampir dekat. Dan ketika kereta benar-benar berhenti  di Stasiun Bojong Gede, Pardi lemas. Keinginannya untuk duduk hari ini  menguap seiring langkah gontainya meninggalkan kereta. Bapak paruh baya yang duduk di depannya  tadi masih terlelap tidur.
***
            “Gimana sih Rat, rasanya duduk di kereta?”tanya Pardi usai menyantap makan malam. Ratno yang malam ini mampir kekontrakannya berhenti menyuapkan nasi kemulut. Dipandanginya Pardi yang menatapnya lekat.
            “Ha..ha...koe nanya apa nguji sih Par, ha..ha..ha...!” Ratno tergelak menahan geli. Pertanyaan Pardi sungguh kekanak-kanakan.  Diteruskan kembali makannya. Sambil makan Ratno terus saja tertawa.
            “Huk...huk..., minum Par, minum, huk..!”kerongkongan  Ratno tercekat. Buru-buru Pardi menuangkan air kendi, oleh-oleh dari Jawa, kegelas plastik. Glek! Sekali  teguk tandaslah isi gelas. Pardi menggeleng-gelengkan kepala.
            “Ditanya mbok ya serius. Ini akibatnya kalau mentertawakan orang!”Pardi mengangkat piring bekas makannya ke belakang. Air keran mengucur deras  membasuh piring-piring kotor yang ditinggalkannya tadi pagi.
            “Maaf, Par, aku kira kamu bercanda!”teriak Ratno dari depan.
            “Jadi gimana?” Pardi membalas berteriak.
            “Apanya?”Ratno masih nggak nyambung.
            “Supaya dapat duduk di kereta gimana caranya?”suara Pardi mulai terdengar gusar.
            “Oh...naik aja dari Bogor, gampang kan?”Ratno tersenyum menang. Pardi mendengus. Tidak dihiraukannya lagi kata-kata Ratno. Dibaringkan badannya diatas kasur. Badannya terasa pegal-pegal karena kerja seharian, ditambah perjuangannya yang cukup berat  untuk mampu bersaing  di kereta. Begitu berbaring diatas kasur tipis, Pardi langsung terkapar.  Hari  kian larut. Malam dibalut kegelapan.
***
            Wajah Pardi mendung. Tadi pagi ia dimarahi bosnya karena telat datang ketempat kerja. Kereta yang biasa ditumpanginya terlambat tiba di stasiun Bojong Gede. Bosnya marah besar karena Pardi baru sampai pukul 08.30, telat tiga puluh menit dari biasanya. Dia dibilang mulai bosan kerja dan  tidak disiplin. Kata-kata bosnya dia telan pahit-pahit bersama rasa sakit  hati. Pardi baru sekali ini terlambat. Tak satupun dia absen semenjak  bekerja   diperusahaan elektronik ini dua tahun lalu. Meskipun begitu dia simpan rapat-rapat  semua gundah yang ada dihatinya. Sebagai buruh dia pasrah menerima kenyataan. Saat ini yang dia membutuhkan  uang untuk biaya emaknya yang sakit di desa.  Pikirannya tidak fokus. Langkahnya gontai.
            Pukul 17.10. Suasana stasiun Kalibata masih saja ramai.  Gerombolan anak sekolah dengan seragam SMU tampak menguasai bangku-bangku besi  disepanjang stasiun. Banyolan khas para remaja mengisi ruang hati Pardi yang hampa.
            Pardi terus berjalan keujung. Pandangannya kosong. Wajah emaknya yang terbujur lemah karena TBC yang mengerogoti  hampir sepuluh tahun menari-nari dibenaknya. Pardi merasa bersalah  meninggalkan emaknya  yang hanya  ditemani adiknya yang baru tamat SMP. Tapi, tekadnya yang kuat untuk merubah nasib membawanya ke kota metropolitan.
            Teng...nong...neng...nong... suara sirene khas yang menandakan kereta tiba telah berbunyi. Pardi sedikit membungkuk, memastikan kedatangan kereta dari arah utara. Para penumpang bersiap-siap untuk naik. Pardi tidak mau kalah. Sebulan waktu yang cukup baginya memahami kondisi kereta  Hup! Sigap dia melompat masuk begitu pintu kereta tepat berhenti didepannya. Pardi menggeser badannya kedalam. Dia menghindar dari pintu. Di Pasar Minggu, biasanya banyak penumpang yang akan naik. Dia tidak mau badannya jadi sasaran empuk aksi dorong-dorongan.   Pardi terus bergerak, selip kanan, selip kiri. Usahanya  tidak sia-sia. Dia berhasil merangsek hingga dekat dengan penumpang yang duduk.
            Pardi mengusap peluh yang mengalir deras diwajah dan lehernya yang keling. Tangannya mengipas-ngipas. Udara panas cepat menyebar, membawa bau khas aroma manusia yang bekerja sepanjang hari. Pedagang koran tidak letih menjajakan barangnya. Sore hari koran di jual setengah harga untuk penghabisan. Pedagang buah  tiada berkeluh kesah. Keranjang-keranjang yang masih penuh stoknya dijinjing melewati  para penumpang yang berdiri berdesak-desakan.
            Pardi menatap penuh harap pada wanita yang duduk gelisah di depannya. Sekali-sekali mata perempuan berkulit putih itu melihat keluar, seolah takut kelewatan turun di stasiun yang salah. Wanita itupun bertanya pada penumpang disebelahnya. Setelah berterima kasih, perempuan itu bangkit. Pardi merasa mendapat durian runtuh. Harapannya untuk merasakan duduk di kereta akan terwujud. Bangku kosong  bekas perempuan tadi menjadi incaran para penumpang yang berdiri. Pardi segera mengambil kesempatan. Ia bangga harapannya selama ini terkabulkan. Hatinya bersuka ria. Bayangan marah bosnya tadi pagi sejenak sirna. Pardi begitu menikmati tempat duduknya. Sapuan angin  senja yang menyisir rambutnya  membuat dirinya seperti dimanjakan.
            Kereta terus melaju membelah rel-rel besi yang membujur  sampai ke Bogor. Benar saja, di Pasar Minggu penumpang berjubel. Perempuan dan laki-laki saling sikut untuk berebut  masuk. Pardi merasa  enak dapat duduk. Dia tidak harus bergeser kekanan dan  kekiri, berdesak-desakan dan terjungkal  ketika masinis seenaknya  menarik rem. Dia benar-benar merasa di awan.
            Menjelang  tiba di Poltangan, para penumpang ribut. Bunyi gemuruh dari atas gerbong  membuat para penumpang histeris.
            “Tutup jendela!”teriak Bapak-bapak. Pardi masih tidak menyadari bahaya yang menghampirinya. Dia masih dibuai nikmatnya duduk dibangku. Pikirannya masih terbang. Para penumpang berjongkok. Kehebohan dan suara bising yang lain dari biasanya menyadarkan Pardi. Tapi terlambat, sebuah batu yang dilemparkan anak-anak sekolah yang sedang tawuran dari arah Poltangan, melayang tepat mengenai kepalanya. Darah mengucur deras. Orang-orang histeris. Pardi merasakan kepalanya pening dan selanjutnya ia rasakan semuanya gelap.
By: Murhijriatul Muslim


Cerpen dimuat dimajalah Sabili tahun 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar