Selasa, 07 Juni 2016


Percikan
TAHU

Aku suka sekali makan tahu. Gulai tahu, semur tahu, pepes tahu,  opor tahu, semua aku suka. Bahkan sekedar goreng tahu plus cabe rawit. Makanya aku sering dijuluki setan tahu. Ini karena setiap mau makan, harus ada hidangan tahu di meja makan.
“Maaf Non, tadi Bik Narti kesiangan belanjanya. Jadinya kehabisan tahu,” kata Bik Narti saat kutanya kenapa hari ini tidak ada suguhan tahu sebagai makan siangku. Aku mendengus kesal. Hilang sudah selera makanku.
“Kan ada ayam kecap, enak lho,” bujuk mama yang mendengar kericuhan di meja makan.
 “Malas ah, Ma,” kuseret langkahku ke kamar. Sebenarnya perutku sudah menjerit minta diisi. Tapi aku tidak berselera melihat menu di meja makan.
“Sekali-kali nggak ada tahu kan nggak apa-apa,” suara mama masih terdengar.
”Hu uh,” aku merutuk kesal. Setelah mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumah, aku segera ke luar, mencari tukang gorengan. Sial, sampai setengah jam aku menunggu, tukang gorengan tak kunjung datang. Lalu kuputuskan ke  jalan besar. Di perempatan jalan besar, depan mini market biasanya ada tukang gorengan yang mangkal. Aku melonjak senang saat melihat abang gorengan sedang memasukan adonan ke dalam penggorengan.
“Bang, tahu dong lima ribu,”
”Wah, tahunya habis, Neng. Baru aja ada yang borong,” sesal Abang gorengan. Mataku mendelik. Cacing-cacing di perutku semakin meronta-ronta. Langkahku gontai saat tiba di rumah. Akhirnya kumakan juga apa yang ada di meja makan. 
“Nih Non, Bik Narti beli tahu yang banyak, biar Non Ara nggak kehabisan tahu lagi,” kata Bik Narti saat aku turun dari kamar atas. Liburan kali ini aku habiskan di rumah, membaca novel yang kupinjam di perpustakaan daerah.
”Beli dimana, Bik?” kulihat Bik Narti memasukan potongan tahu berwarna kuning ke dalam wadah plastik, mencucinya dengan air hangat. Setelah ditiriskan baru dimasukan ke kulkas dalam wadah tertutup. Kata Bik Narti dengan cara itu tahu bisa tahan seminggu.
”Ada yang jual, orangnya ganteng deh Non. Kayaknya seumuran Non Ara” Bik Narti tersipu malu.
”Idih, Bik Narti genit,” godaku. Dan Bik Narti semakin tersipu-sipu.
Gara-gara Bik Narti sering menceritakan pedagang tahu yang ganteng itu, aku jadi  penasaran juga. Minggu pagi, akupun ikut ke pasar, tepatnya maksa ikut.
Setelah naik angkot satu kali, tibalah kami di pasar. Kondisi pasar yang bau dan becek membuatku sempat urung masuk ke dalam. Bik Narti juga kelihatan cemas.
“Non, tunggu di Bakso Mang Jaja aja, biar Bik Narti yang keliling,”
“Beli tahu dulu aja, Bik,”
”Jualan tahunya dekat dengan Bakso Mang Jaja, Non,”
Udah maksa-maksain ikut Bik Narti ke pasar ternyata tuh abang-abang tahu nggak jualan. Sumpah kesal!
”Baru kali ini dia nggak jualan, Non. Bibik cari ditempat lain aja ya, Non.”
Aku mengangguk sambil makan bakso yang kupesan.
“Eh, cewek gaul, kok tumben ada di pasar?” sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Aku menoleh dengan bakso yang masih ada di mulut.  
Wajah Aryo, teman sekelasku yang diam-diam aku sukai terlihat di depan mata. 
”Kamu ngapain di sini?” tanyaku setelah kutelan bakso yang di mulutku.
"Gue lagi jualan tahu, gantiin bokap yang lagi sakit!”
”Huek!” kali ini bakso yang kumakan nyangkut di tenggorokan.
”Hahaha...cewek gaul ternyata ngebaksonya di pasar. Kirain cuma kenal kafe doang,”
”Non, Bibik tadi beli tahu sutra dan Bandung aja,” tiba-tiba Bik Narti sudah muncul di sebelahku.
”Nggak apa-apa, yuk langsung pulang, Bik!”
”Eh, inikan tukang tahu yang sering Bibik ceritain, Non. Kok hari ini nggak jualan, Bang?” seru Bik Narti saat melihat Aryo.
“Saya tadi antar pesanan tahu dulu Bik, jadi baru mau jualan sekarang,”
 ”Bang, Non Ara penasaran banget sama abang sampai maksa ikut Bibik ke pasar buat ketemu abang tahu ganteng langganan Bibik. Tapi kayaknya udah pada kenal ya.”
Wajahku bersemu merah mendengar celotehan Bik Narti. 
Sedangkan Aryo tersenyum-senyum.
”Apa sih Bik, bikin malu aja,” kutarik tangan Bik Narti untuk pulang. Jantungku masih berdegup kencang. Dari jauh masih kudengar tawa keras Aryo.

Depok, 29 Desember 2015
Dimuat di majalah gadis 28 Februari-12 Maret 2016