Percikan
TAHU
Aku suka sekali makan
tahu. Gulai tahu, semur tahu, pepes tahu, opor tahu, semua aku suka. Bahkan sekedar goreng tahu
plus cabe rawit. Makanya aku sering
dijuluki setan tahu. Ini karena setiap mau makan, harus ada hidangan tahu di
meja makan.
“Maaf Non, tadi Bik
Narti kesiangan belanjanya. Jadinya kehabisan tahu,” kata Bik Narti saat kutanya
kenapa hari ini tidak ada suguhan tahu sebagai makan siangku. Aku mendengus
kesal. Hilang sudah selera makanku.
“Kan ada ayam kecap,
enak lho,” bujuk mama yang mendengar kericuhan di meja makan.
“Malas ah, Ma,” kuseret langkahku ke kamar.
Sebenarnya perutku sudah menjerit minta diisi. Tapi aku tidak berselera melihat
menu di meja makan.
“Sekali-kali nggak ada
tahu kan nggak apa-apa,” suara mama masih terdengar.
”Hu uh,” aku merutuk
kesal. Setelah mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumah, aku segera ke
luar, mencari tukang gorengan. Sial, sampai setengah jam aku menunggu, tukang
gorengan tak kunjung datang. Lalu kuputuskan ke
jalan besar. Di perempatan jalan besar, depan mini market biasanya ada
tukang gorengan yang mangkal. Aku melonjak senang saat melihat abang gorengan
sedang memasukan adonan ke dalam penggorengan.
“Bang, tahu dong lima
ribu,”
”Wah, tahunya habis, Neng.
Baru aja ada yang borong,” sesal Abang gorengan. Mataku mendelik. Cacing-cacing
di perutku semakin meronta-ronta. Langkahku gontai saat tiba di rumah. Akhirnya
kumakan juga apa yang ada di meja makan.
“Nih Non, Bik Narti
beli tahu yang banyak, biar Non Ara nggak kehabisan tahu lagi,” kata Bik Narti
saat aku turun dari kamar atas. Liburan kali ini aku habiskan di rumah, membaca
novel yang kupinjam di perpustakaan daerah.
”Beli dimana, Bik?”
kulihat Bik Narti memasukan potongan tahu berwarna kuning ke dalam wadah
plastik, mencucinya dengan air hangat. Setelah ditiriskan baru dimasukan ke
kulkas dalam wadah tertutup. Kata Bik Narti dengan cara itu tahu bisa tahan
seminggu.
”Ada yang jual,
orangnya ganteng deh Non. Kayaknya seumuran Non Ara” Bik Narti tersipu malu.
”Idih, Bik Narti
genit,” godaku. Dan Bik Narti semakin tersipu-sipu.
Gara-gara Bik Narti
sering menceritakan pedagang tahu yang ganteng itu, aku jadi penasaran juga. Minggu pagi, akupun ikut ke
pasar, tepatnya maksa ikut.
Setelah naik angkot
satu kali, tibalah kami di pasar. Kondisi pasar yang bau dan becek membuatku
sempat urung masuk ke dalam. Bik Narti juga kelihatan cemas.
“Non, tunggu di Bakso
Mang Jaja aja, biar Bik Narti yang keliling,”
“Beli tahu dulu aja,
Bik,”
”Jualan tahunya dekat
dengan Bakso Mang Jaja, Non,”
Udah
maksa-maksain ikut Bik Narti ke pasar ternyata tuh abang-abang tahu nggak jualan. Sumpah kesal!
”Baru kali ini dia
nggak jualan, Non. Bibik cari ditempat lain aja ya, Non.”
Aku mengangguk sambil makan bakso yang kupesan.
Aku mengangguk sambil makan bakso yang kupesan.
“Eh, cewek gaul, kok tumben
ada di pasar?” sapa seseorang yang suaranya sangat kukenal. Aku menoleh dengan
bakso yang masih ada di mulut.
Wajah Aryo, teman sekelasku yang diam-diam aku sukai terlihat di depan mata.
”Kamu ngapain di sini?” tanyaku
setelah kutelan bakso yang di mulutku.
"Gue lagi jualan tahu,
gantiin bokap yang lagi sakit!”
”Huek!” kali ini bakso
yang kumakan nyangkut di tenggorokan.
”Hahaha...cewek gaul
ternyata ngebaksonya di pasar. Kirain cuma kenal kafe doang,”
”Non, Bibik tadi beli
tahu sutra dan Bandung aja,” tiba-tiba Bik Narti sudah muncul di sebelahku.
”Nggak apa-apa, yuk
langsung pulang, Bik!”
”Eh, inikan tukang tahu
yang sering Bibik ceritain, Non. Kok hari ini nggak jualan, Bang?” seru Bik
Narti saat melihat Aryo.
“Saya tadi antar
pesanan tahu dulu Bik, jadi baru mau jualan sekarang,”
”Bang, Non Ara penasaran banget sama abang sampai maksa ikut Bibik ke pasar buat ketemu abang tahu ganteng langganan Bibik. Tapi kayaknya udah pada kenal ya.”
Wajahku bersemu merah mendengar celotehan Bik Narti.
Sedangkan Aryo tersenyum-senyum.
Wajahku bersemu merah mendengar celotehan Bik Narti.
Sedangkan Aryo tersenyum-senyum.
”Apa sih Bik, bikin
malu aja,” kutarik tangan Bik Narti untuk pulang. Jantungku masih berdegup
kencang. Dari jauh masih kudengar tawa keras Aryo.
Depok, 29 Desember 2015
Dimuat di majalah gadis 28 Februari-12 Maret 2016