Rabu, 07 Maret 2012

CELOTEH ANAK

MAMA, AMMAR MAU PUNYA SAYAP

Ammar pintar sekali makan. Apapun yang saya masakkan selalu dia lahap. Mungkin karena itu otaknya mampu berpikir kritis. Meski begitu saya tidak pernah lupa memberinya vitamin. Vitamin yang saya berikan berupa pil seperti permen. Saking sukanya sama vitamin, dia hafal sekali jam-jam pemberian vitamin. Suatu hari Ammar berkata,
”Mama, Ammar mau punya sayap!”
”Oh, ya. Memangnya kenapa Ammar mau punya sayap?”
”Supaya Ammar bisa terbang. Kan kalau Ammar bisa terbang, Ammar bisa ambil vitamin,” katanya sambil melirik vitamin yang selalu saya letakkan di atas lemari.
 Saya hanya tersenyum. Kukira hanya karena vitamin saja Ammar ingin bisa terbang. Lain hari ternyata keinginan itu dia lontarkan kembali.
”Mama, Ammar mau punya sayap. Belikan ya, Ma.”  Kali ini sambil merajuk. Tangannya mengibas seperti sayap.
”Mau beli di mana?”
”Di pasar.”
 Saya berpikir sebentar. Mau menyampaikan kalau manusia ditakdirkan tidak bisa terbang, tidak seperti burung. Namun urung karena Ammar sudah bermain kembali. Besoknya saya lihat Ammar menggerak-gerakkan badannya laksana seekor burung.
”Wak, wak, aduh, sayapku patah!” teriaknya sambil berpura-pura terjatuh dan kesakitan. Ternyata dia sedang memperagakan gaya Falcona, burung elang di film Paddle Pop Elemagika. Lain waktu dia membelitkan sarung di leher hingga membentuk sayap yang dimiliki batman atau superman. Kubiarkan saja proses imitasi tersebut, berharap dia lupa akan keinginannya mempunyai sayap. Namun suatu hari kulihat Ammar, sulungku yang berumur 4 tahun, termenung. Dia tidur-tiduran saja di kamar. Tidak ada suara dan gerakannya yang lincah yang setiap hari terdengar. Pelan kucoba mendekati.
”Anak Mama kenapa sih, kok diam saja?” tanyaku lembut. Ammar melirik, sekilas. Selanjutnya dia masih asyik dengan guling dan bantal.
”Benar nih mama nggak boleh tahu?” tanyaku memancing. Ammar memang terbiasa bercerita padaku. Jadi aneh kalau dia bisa memendamnya lama-lama. Aku langsung bangkit dan hendak beranjak keluar kamar.
”Mama!” Tuh, kan. Aku tersenyum, tak jadi melangkah.
”Superman kan manusia tapi kok bisa terbang. Batman juga. Ammar mau juga dong ma, biar Ammar bisa nolongin orang-orang.”
Wah, masalah sayap lagi nih, batinku.
“Ammar, superman dan batman itu hanya ada di film-film. Tidak ada manusia yang punya sayap. Allah hanya menciptakan bangsa burung yang memiliki sayap untuk memudahkan mereka mencari makan dan bertahan hidup.” Ammar mengangguk. Aku tidak tahu apakah dia paham atau tidak.
”Kalau Ammar mau menolong orang tidak harus punya sayap. Ammar kan bisa kasih uang ke pengemis atau infak ke masjid.”
Iya ya Ma, mereka kan kelaparan. Kalau Ammar nolongin mereka kan nanti disayang Allah. Kali ini aku hanya bisa mengangguk, terharu.
Depok, 7 Mei 2011
By: Mama Ammar

Selasa, 06 Maret 2012

CERPEN

JADIKAN AKU SAHABATMU

            Pedih. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk melukiskan suasana hatiku sore ini. Sore yang syahdu dengan  gerimis yang perlahan turun membasahi jalanan berdebu. Menyebar bau tanah yang menusuk bulu-bulu hidung. Membasahi pohon-pohon yang kokoh berdiri ditempatnya. Membasahi atap-atap rumah yang memainkan irama lembut. Indah jika dimaknai dengan cinta. Tapi semua keindahan itu raib bersama duka yang kini menghuni perasaanku. Mengharu biru dan bersemayam disudut hatiku yang paling dalam.
            “Assalamu’alaikum…tok…tok…tok!” kuketuk perlahan pintu rumah yang tertutup rapat. Sunyi. Aku gelisah. Angin dingin terus saja menyusup, menembus pori-pori kulitku. Aku menggigil.
            “Assalamu’alaikum…!” . Tak ada jawaban. Tapi aku yakin ada orang di dalam. Pintu pagar yang tidak dikunci menguatkan keyakinanku. Suasana rumah begitu sepi, lampu luar pun tidak menyala. Sebuah ide tiba-tiba melesat di kepalaku.
            Kriing…kriing…kriing… bunyi telepon terdengar menjerit dari dalam rumah.
            Klek…terdengar suara pintu di buka.  Langkah kaki  menuju  telepon.
            Ups…hampir saja aku terbawa suasana. Kumatikan segera ponselku sebelum telepon dijawab.
            “Assalamu’alaikum…tok..tok..!” kukeraskan suaraku. Kali ini aku bersaing dengan hujan yang semakin deras.
            “Wa’alaikumsalam, sebentar ya…!” akhirnya…
            Aku bersandar pada dinding yang juga sudah terimbas hujan, dingin dan lembab. Pandanganku menelusuri halaman rumah Uni Ermi, sepupu Santi yang lumayan luas. Tanaman apotik hidup banyak menghiasi setiap sudut halaman. Pohon Sirsak berayun-ayun mengikuti irama angin. Bunga-bunga mawar merunduk menyambut limpahan air dari langit. Aku mengeratkan dekapanku. Sweaterku sudah basah sebagian.
            Klek…handle pintu bergerak ke bawah, tak lama...
            “Ya Allah, Nina…masuk-masuk, sudah lama? Aku buatin susu dulu ya atau mau ganti baju atau…!” wajah Santi tampak khawatir.
            Aku menggeleng.  Mataku memanas. Terenyuh.
            “Ke kamarku dulu ya, aku mau bikin minuman!” Santi  tersenyum. Langkah-langkah lincahnya yang kerap kulihat di kampus beranjak menuju dapur. Tak lupa dia hidupkan lampu ruang tamu yang semula gelap.
            “Sudah lama di luar?” Santi membawa dua gelas minuman. Salah satunya disodorkan untukku. Aku tidak menjawab. Kunikmati uap panas dari susu coklat. Kami sama-sama membisu. Meoong…gubraak…Kami sama-sama terkejut dan kemudian tertawa.
            “Puuus!” Santi berteriak . “Bikin kaget saja.  Eh, udah jam berapa ya?” tiba-tiba Santi tersentak dan melirik weker kuning gadingnya.
“Astaghfirullah, jam lima. Aku shalat Ashar dulu ya!” Santi bergegas bangkit dan tergesa ke kamar mandi.
             Perlahan sekali kubuka jilbabku yang basah dan kugantung  di dinding bercat putih. Kamar Santi  terlihat artistik. Aneka benda daur ulang menghiasi meja belajarnya  yang tidak pernah rapi. Di ujung meja, dalam pigura kayu berukiran halus, terpampang foto kami berdua. Saat itu kami baru pulang demo di gedung  DPRD. Entah angin dari mana tiba-tiba terbersit keinginanku untuk foto berdua dengan Santi. Padahal saat itu kami berkeringat setelah berjalan cukup jauh dari kantor gubernur ke kantor DPRD bersama iring-iringan mahasiswa yang lain. Untung saja di tasku selalu tersedia baby powder. Lumayanlah untuk menyapu wajah kami yang berminyak di siang yang cukup terik.
            “Hai, melamun!” tepukan lembut di bahuku membuat semua memori yang sedang bermain di anganku pupus. Aku terkesiap.
            “Biasa deh…!” Aku pura-pura ngambek.
            “Kenapa sih dari tadi manyun terus, jelek tau!” Santi melompat ke atas tempat tidurnya. Didekapnya bantal guling bersarung hijau lumut.
            “Uni Ani, San…, aku nginap sini ya?” Aku menatap wajah oval di hadapanku. Santi  menatapku sesaat dan kemudian mengangguk. Dia memang sudah paham semua masalahku.
“Boleh, kita kerjain PR Akuntansi Biaya ya…?” Aku mengangguk. Sebelum berangkat tadi walaupun dalam keadaan gamang, aku masih menyempatkan diri menyiapkan tugas untuk kuliah besok.
            “Uni kemana, San?”
            “Ketempat tugas uda di Bukit Tinggi. Untung kamu datang, jadi aku ada teman!” Santi tertawa.
            “Kamu kayak nggak punya beban ya San, ketawa terus!” Aku mencubit hidung mancung Santi.
            “Adaaow…!”
***
            Aku mengambil  bangku di sudut. Salah satu pelarianku kalau sedang sedih. Dari balik jendela, mataku bisa leluasa memandangi ulah mahasiswa yang bersliweran di sepanjang koridor. Pandanganku jatuh pada rumput-rumput hijau yang tertata rapi dan sebuah bangku taman  yang meringkuk indah ditengah-tengahnya.
            “Ninaaa…!” aku menoleh kearah suara yang amat kukenal.
“Idih, manggilnya kayak aku jauh,”
 Santi tertawa.
            “Rajin banget, pagi-pagi udah datang!” seru Santi.
            “Kamu aja yang malas, kuliah udah mau mulai baru datang !”
ujarku sewot. Santi kembali tertawa. Giginya yang putih berderet rapi .
            “Kebablasan, tadi malam ngobrol sama uni sampai lupa waktu!”
            “Hidup kamu enak ya, ceria!” ujarku pelan. Aku iri melihat jalan hidupnya yang jauh dari masalah. Sedangkan aku…
            “Nin, jangan mulai lagi deh!” Santi menatapku kecewa. Aku mengalihkan pandangan keluar. Kupejamkan mata yang mulai memanas. Dalam gelap aku bisa melihat putaran film kehidupan yang kulalui. Sebuah rumah besar di sebelah timur kota Padang yang tidak pernah sunyi dari pertengkaran. Rumah itu tidak seperti yang orang lihat, terasa sempit bagi penghuninya. Pertengkaran demi pertengkaran terus menghiasi hari demi hari. Uni Ani, kakak keduaku sering berteriak-teriak. Dia mengatai-ngatai mama karena suaminya tidak diijinkan lagi  tinggal bersama kami. Suami Uni Ani hanya tersenyum sinis melihat pertikaian ibu dan anak. Uni membanting-banting piring. Mama berteriak-teriak ketakutan sambil berlari keluar rumah. Papa hanya bisa meneteskan air  mata. Lelaki yang dulu gagah itu hanya mampu menatap kelakuan anak kesayangannya  itu memaki-maki dirinya yang tidak mampu berbuat apa-apa lagi sejak stroke menyerangnya. Suami Uni Ani tersenyum,  menyeringai bak serigala. Aku benci. Dadaku bergemuruh menyaksikan mama dan papa dihujat oleh anaknya sendiri. Anak yang dibesarkan dengan limpahan kasih sayang. Anak yang diistimewakan dari enam orang saudaranya yang lain. Air mataku kembali menetes. Segera kukejar mama dan membawanya dalam pelukan. 
            “Nin…!” aku menoleh. Butiran embun kurasa masih ada di sana, disudut mataku. Santi merangkulku. Gadis yang sangat mengerti dukaku. Gadis yang senantiasa menjadi acuanku dalam bersikap sebagai manusia dewasa.
            “Jangan cengeng ah, katanya mujahidah!” Santi melepaskan rangkulannya. Teman-teman yang lain sudah pada datang.
            “Sabar ya,” tuturnya lembut. Aku merasa nyaman di samping Santi. Dukaku berangsur-angsur pulih jika didekatnya. Santi mengambil posisi di sebelahku. Kami bisa saling bercerita, karena kuliah  jam ini sangat membosankan.
***
            “Assalamu’alaikum…!”
            “Wa’alaikumsalam…masuk yuk San!” seruku begitu melihat sosok sahabatku di pintu pagar. Hari Minggu yang cerah setelah beberapa hari ini hujan melanda kota Padang. Awan putih bagaikan untaian kapas di cakrawala yang merayap perlahan menebarkan kesejukan. Pagi ini aku sibuk membersihkan bercak-bercak tanah yang mengotori lantai keramik putih teras rumahku. Hujan menyisakan lumpur di mana-mana. Sinar matahari jam sepuluh pagi terasa sehat di kulit.
            “Sibuk?”
            “Enggak, ini sih kerjaan sehari-hari. Ponakanku bandel-bandel, bikin kotor terus!” ujarku.
            “Di kamar aja ya!” aku segera menuju kamar. Suami Uni baru keluar dari kamar. Matanya merah karena baru bangun tidur. Dia menyapa kami, namun kusambut  dengan senyuman tipis. Di ruang tengah langkahku terhenti oleh suara keras.
            Den indak amuah tau, bagi warisan kini atau ama tse nan pai dari siko!” nada amarah memenuhi ruangan 3x3 meter. Langkahku semakin cepat untuk menghindari suara-suara keras itu. Tapi tetap saja suara itu memenuhi gendang telingku. Santi hanya terdiam.
            “Masuk aja, maaf ya kamarku berantakan!” aku berusaha tersenyum. Namun tak urung mataku berkaca-kaca.           
            Aku tak sanggup berpura-pura. Dadaku turun naik menahan isakan. Santi membawaku dalam pelukannya.
            “Aku…aku…tidak sanggup lagi, San!” suaraku tersekat. Mataku semakin panas. Air mataku berhamburan keluar. Santi membisu. Namun wajah itu pun kulihat sendu.
            “Sabar, Nin, innallaha ma’asshobirin!” tutur Santi pelan. Tangannya membelai-belai punggungku. Aku berusaha kuat. Kuhapus dengan kasar butir-butir air mata yang selalu membuatku kelihatan  cengeng. Kupeluk bantal dan kutelungkupkan wajahku perlahan. Suasana hening.
            “Kita mulai belajar ya…!” Santi  berusaha mencairkan suasana. Aku mengangkat wajahku. Mukaku sembab. Aku menggeleng.
            “Kayaknya kita tidak bisa belajar di sini. Uni kalau sudah marah bisa seharian,” aku memasukan buku untuk ujian besok ke dalam tas. Santi hanya diam menunggu.         “Kita ke masjid ya, di sana lebih tenang buat belajar!” aku bergegas keluar diikuti Santi. Aku merasa bersalah padanya. Rencananya kami akan membahas soal-soal intermediate. Besok hari pertama kami ujian semester. Beribu permasalahan di rumah membuat konsentrasi belajarku agak terpecah.
***
            “Hai!” tepukku kasar. Santi menoleh. Matanya sedikit memerah. Santi mencoba tersenyum.
            “Kenapa, San?” tanyaku hati-hati. Tidak biasanya wajah Santi sedikit muram. Masalah nilai rasanya nggak mungkin. Kemarin aku baru melihat KHSnya, IPnya 3,29, bukan sesuatu yang patut disesali.
            “Kita ke kafe MIPA yuk…!” ajakku. Santi mengangguk tanpa berusaha menjawab. Kami berjalan beriringan menyusuri koridor kampus. Mahasiswa banyak yang duduk-duduk di lantai, hanya beralaskan selembar koran. Menikmati  kue kecil yang dijual amak-amak.
            “Duh, bete  deh kalau kamu diam!” Aku mulai hilang kesabaran. Tadinya aku mau cerita banyak ke Santi tentang perubahan di keluargaku. Uni Ani sudah pergi ke Lampung bersama suaminya. Mama sudah membagi warisan yang menjadi hak Uni. Tadinya aku tidak terima karena warisan baru bisa dibagikan kalau orangnya sudah meninggal. Tapi mama berusaha menenangkanku, katanya ini untuk kebaikan semua. Sejak pertengkaran-pertengkaran masalah warisan, sakit papa semakin parah. Kami tidak kuasa menyakiti lebih dalam lagi  pahlawan keluarga yang dulu selalu menghujani kami dengan limpahan materi. Uni mendapat sawah dan tabek yang langsung dijualnya. Uangnya langsung mereka bawa ke Lampung, katanya untuk usaha. Kini tidak ada lagi suara-suara melengkingnya yang senantiasa terdengar melawan mama dan papa.  Tidak ada lagi suami Uni Ani yang kerjanya hanya tidur-tiduran, yang tiap hari hanya menghasung Uni untuk meminta warisan pada kedua orangtuanya yang belum meninggal.
            Namun, keceriaanku juga sirna. Aku kadangkala kangen dengan ketiga keponakanku. Mereka sudah mampu memberi ruang kerinduan di sudut hatiku. Aku  kasihan jika mereka di sana tidak diajarkan mengaji dan shalat. Selama tinggal bersama, aku berusaha mendekati makhluk-makhluk kecil itu. Kurengkuh mereka jika pertengkaran-pertengkaran mulai terjadi. Kuajak mereka ke surau untuk mengaji dan berlatih shalat berjamaah. Aku rindu dengan wajah imut mereka.  Tidak bisa kubayangkan jundi-jundi itu akan berkembang seperti apa nantinya dengan kedua orangtua yang tidak pernah peduli pada agama. Begitu banyak yang ingin kuceritakan…
            “Pesan apa, San?’ kutatap mata yang kosong itu. Santi terkesiap. Aku tahu kalau dia tadi melamun.
            “Gado-gado aja, Nin!” ujar Santi pelan. Aku menatapnya curiga. Santi  membuang pandangannya ketempat lain.
            “Santi…aku mengajakmu ketempat ini karena ingin makan pempek!” ujarku berhati-hati. “Disini tidak ada gado-gado!”
            “Terserah!” jawaban singkat yang tidak kuperkirakan sebelumnya. Aku segera beranjak memesan makanan kesukaan kami berdua. Aku tidak ingin berlama-lama larut dalam kediaman Santi. Mahasiswa MIPA hampir seluruhnya  datang ke kafe. Kalau tidak cepat, aku takut tidak kebagian.
            “Dimakan San, jangan didiamin aja, nanti keburu dingin, nggak enak!” aku memasukan potongan demi potongan pempek kapal selam ke mulutku. Santi makan dalam diamnya.
            “Nin!” suara Santi terdengar pelan. Aku mengangkat wajahku, menunggunya bicara kembali. Santi mengaduk-aduk teh botol yang juga dipesannya.
            “Kamu hebat ya, kuat!” ujar Santi tiba-tiba. Santi berusaha tersenyum. Tapi kurasa itu hanya upayanya untuk menutupi resah yang bermain di matanya. Aku mengerutkan kening, berusaha memahami arah bicaranya.
            “Aku ingin cari kos, tolong carikan ya…!” Santi menatapku penuh harap. Aku segera mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut. Tapi nalarku segera berjalan.
***
            “Hai…!” kepalaku melongok kedalam kamar Santi. Seperti biasa, kamar itu berantakan dengan pernak-pernik kesayangan Santi. Santi menyambutku dengan senyuman.
            “Darimana?” tanya Santi. Tangannya sibuk melipat baju-bajunya yang baru kering dari jemuran.
            “Dari rumah, kangen aja mau main kesini!” aku segera menuju tempat tidur Santi, meraih gulingnya yang bersarung hijau lumut.
            “Dapat salam dari mama, katanya kok kamu jarang main ke rumah lagi?” aku menghidupkan kipas angin mungil. Santi lagi-lagi tersenyum.      
            “Aku mau ke rumah kamu kalau kamunya yang masak!” ledek Santi. Aku mencibir. Santi tahu kekuranganku, tidak bisa masak. Aku tidak bisa membedakan mana merica dan ketumbar. Kunyit, Lengkuas dan Jahe, aku juga tidak tahu. Benar-benar payah. Tapi kalau pelajaran kuliah, dia boleh mengandalkanku. Ehm…
            “Boleh, kapan maunya?” tantangku. Padahal aku hanya ingin mengajaknya menginap dirumahku, kita bisa curhat. Terus terang aku masih penasaran dengan sikap dinginnya  beberapa hari yang lalu.
            “Habis aku nyetrika baju ini ya!” putus Santi dan aku bersorak dalam hati.
***
            “Ini salahku, tidak seharusnya aku tinggal lama di rumah uni!” Santi memulai ceritanya. Aku surprise, belum kucoba mengorek rasa penasaranku, tapi ia sudah mau bercerita. Kuperhatikan wajahnya yang masih seperti dulu, putih dan cantik. Tapi mata itu seperti menyimpan gundah. Kudengarkan dengan serius.
            “Tapi kan dia  sepupumu!” potongku. Santi mengangguk.
            “Iya, tapi seharusnya aku tahu diri. Ya, setidaknya selama kos aku lebih tenang.” Santi terdiam sejenak, mengatur desahan nafasnya yang memburu karena menahan sesak.
            “Aku dan uni beda sepuluh tahun. Setelah menikah selama delapan tahun dan tidak mempunyai anak, aku tahu kalau perasaan uni tertekan dan…uni merasa cemburu dengan kehadiranku di sana. Suaminya kalau ada apa-apa minta pendapatku, entah itu masalah politik Indonesia ataupun sekedar menu masakan. Aku harus tahu diri ketika uni tidak meyapaku bahkan menghasut suaminya untuk ikut membenciku. Aku tidak bisa apa-apa dan kurasa keputusan ini adalah keputusan yang terbaik…!” ujar Santi perlahan. Cerita mengalir tenang dari bibirnya. Matanya berkaca-kaca. Tapi di sana kulihat ketegaran.
            “Apa yang dilakukan uni? Boleh aku tahu?” tanyaku hati-hati. Mata Santi menghujam langit-langit kamar yang jarang kubersihkan.
            “Aku dianggap tidak ada. Mereka kalau ngobrol hanya berdua…dan kalau aku ingin bergabung mereka diam,”. Hatiku ikut pedih mendengar pengakuan Santi. Aku merasakan bagaimana  menjadi orang yang tersisih.
            “Sejak kapan kamu merasa tidak nyaman dengan keadaan itui?” tanyaku perlahan. Aku takut pertanyaanku akan menyinggung perasaannya.
            “Semester dua,” suara Santi tercekat. Aku terhenyak, tidak menyangka dia bisa menyimpan semuanya begitu lama. Ya, tinggal dengan perasaan seperti itu selama satu tahun dan menyimpannya rapat-rapat dariku yang selalu mengaku sebagai sahabatnya. Aku tertegun tak tahu harus berbuat apa.
            “Dulu kamu sering cerita kalau malam suka ngobrol dengan uni sehingga sering kesiangan, aku pikir…,” kalimatku menggatung.
            “Ya, tapi hanya jawaban ya dan tidak yang aku terima. Saat itu aku mencoba bertahan karena akan ujian akhir,”
            “Kulihat uni baik waktu aku ke rumahmu,”
            “Uni memang baik dengan semua orang, tapi tidak denganku. Aku dianggap saingannya. Aku harap dengan kepergianku, uni bisa lebih baik,”. Aku menatap sahabatku yang sibuk mengeringkan air mata dengan tissue.
             Sahabat? Kata-kata itu begitu menohok hatiku. Sahabat macam apa aku yang tidak memahami keadaan sahabatnya sendiri. Atau aku memang sengaja tidak mau tahu  dan selalu menganggap masalahku lebih berat dari masalahnya. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, kadangkala manusia itu butuh teman untuk berbagi. Untuk menumpahkan segala resah hati. Aku tidak pernah memberi kesempatan kepada Santi untuk bercerita. Selalu aku yang mendominasi. Aku merasa Santi selalu ceria, tidak punya masalah dan...rasa bersalahku semakin menggumpal.
             Seharusnya aku sadar kalau Santi bersikap ceria hanya untuk membuatku tersenyum. Santilah yang sebenarnya sahabat, sedangkan aku? Sekali lagi aku merasa malu dengan Santi dan benar-benar iri.
             Ah, aku ingin benar-benar menjadi sahabatnya, sahabat yang tidak hanya mampu menuangkan semua permasalahannya, tapi juga mampu memahami kondisi sahabatnya. Yang bisa membedakan keceriaan dalam kesedihan dan memahami tertawa dalam tangis. Aku yakin aku bisa. Kutatap Santi. Santi menghapus tetesan air mata dengan ujung kelingkingnya. Bibirnya ditarik keatas. Sebuah senyuman hadir di sana.
            “Terima kasih ya, Nin,”
            Aku mengerutkan kening. “Terima kasih untuk apa?”
            “Semuanya. Untuk semua ketegaran, kesabaran dan kesediaanmu mendengarkan ceritaku . Aku banyak belajar darimu. Sekarang aku lega bisa berbagi denganmu!”
            “Ngeledek, aku kan cengeng dan nggak perhatian!” Kukelitik pinggang Santi. Dia histeris sambil berlari keluar kamar. Mama yang melihat hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Keterangan:
Den indak amuah tau, bagi warisan kini atau ama tse nan pai dari siko: Saya tidak mau tahu, bagi warisan sekarang atau mama saja yang pergi dari sini
Tabek: Tambak
By: Puan
          Jakarta, 30 Maret 2004
Cerpen ini dimuat di majalah Muslimah tahun 2005

CERPEN

KOTAK AMAL YANTO


" DUKA YOGYA DUKA BERSAMA atau  PEDULI YOGYA yang keren ya?"tanya Yanto pada diri sendiri sambil sibuk mencoret-coret karton putih di hadapannya.
"Buat apaan sih Bang?"tanya Yanti adiknya yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Yanto tersentak kaget tapi langsung mampu mengendalikan diri.
"Baca dong, baca! Masak udah mahasiswa masih aja nggak paham,"cerocos Yanto bikin kesel.
"Yanti tahu, tentang bencana di Yogya itu kan?"
"Lha, tahu kok nanya!"
"Memangnya siapa yang mau ke Yogya?"
"Sudah sana, bawel!"gertak Yanto membuat mulut gadis di depannya manyun, maju tiga centi. Sambil menghentak mahasiswi tingkat satu di Jakarta itu berlalu dari kamar Yanto. Yanto kembali sibuk dengan aktivitasnya.
"Ehm…beres,"wajahnya terlihat puas. Setelah membereskan kamarnya, Yanto memencet nomor hp yang sangat dikenalnya.
"Lo mau bantuin gue kan? Ok, fifty-fifty deh. Sampai besok ya!" Klik.
***
Siang yang panas. Yanto dan teman-temannya sudah mangkal di halte daerah Utan Kayu, Jakartas Timur. Tampangnya kusam karena seharian menunggui kotak amal buatannya.
"Lumayan, tadi gue lihat ada orang yang masukin uang lima ribuan, kaya besar kita, ha…ha…ha…!"Sobri tertawa keras.
"Sssttt…jangan keras-keras, ketahuan bisa runyam kita!"bisik Yanto sengit. Sobri masih tertawa tapi tidak sekeras tadi.
"Ide lo boleh juga," Yanto melambung dipuji begitu. Saat menyaksikan berita gempa di Yogya kemarin tiba-tiba terbersit keinginannya mendapatkan uang cuma-cuma. Cukup bermodal nekat dan kardus bekas Mie Instan.
"Sssttt…tuh banyak orang yang mau ke sini!"desak Yanto.
"Ok, bos!"Sobri tersenyum konyol. Selanjutnya dia sibuk menghampiri orang-orang yang berjalan ke halte sambil meneriakan,
"Bantuan untuk Yogya. Ayo bapak-bapak, ibu-ibu, tante-tante, om-om, silahkan berbagi. Sedikit harta yang kita sumbangkan sangatlah bermanfaat untuk kelangsungan hidup saudara-saudara kita di sana. Kalau tidak sekarang kapan lagi kita berbuat untuk kemanusiaan?"
Cring…recehan sampai lembaran dua puluh ribuan melayang masuk ke dalam kardus. Sobri masih saja mengoceh. Yanto tersenyum senang. Dalam urusan ini Sobri memang patut diacungkan jempol. Kemampuannya berkata-kata layak diandalkan.
"Lumayan To,"kata Sobri sambil menggoyang-goyangkan isi kardus yang semuanya uang. Halte sudah tidak begitu ramai lagi. Matahari sudah berganti tugasnya dengan rembulan. Pertengahan bulan ini purnama tampak gagah di atas sana.
"Lo hebat!"Yanto menepuk-nepuk bahu Sobri.
"Siapa dulu dong, Sobri bin Supardi, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas…,"
"Stop…stop…! Ke rumahku dulu ya, setelah dihitung baru kita bagi dua, gimana?"
"Turja, atur aja!"
***
         Sudah tiga hari Yanto dan Sobri melakukan aksi kemanusiaan "PEDULI YOGYA". Kali ini tempat mangkal mereka pindah ke jembatan penyebrangan di depan Terminal Depok. Alasannya sekedar variasi dan mencari suasana yang baru, biar orang-orang yang biasa mampir di halte nggak bosan tiap hari lihat tampang mereka. Kali ini mereka tidak harus teriak-teriak tapi cukup meletakkan kotak itu tidak jauh dari tempat lesehan mereka. Bersaing dengan  pengemis yang kelihatannya sudah lama menguasai tempat itu. Tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
"Banyak yang nggak nyebrang lewat sini To, tuh, mereka langsung nyebrang dari depan terminal!"tunjuk Sobri. Mata Yanto mengikuti arah telunjuk Sobri. Pejalan kaki menyebrang langsung tanpa lewat jembatan penyebrangan. Menjelang  sore mereka baru dapat sedikit itu karena yang lewat anak-anak ABG yang mau mejeng ke Plaza Depok.
"Wah, hari ini kita sial, dapat buat makan siang aja udah untung!"keluh Sobri.
"Besok kalau mau mangkal kita lihat situasi dulu biar nggak kayak sekarang!"kata Yanto sambil membereskan barang-barang mereka.
"Mau mampir ke rumah gue?"tawarnya. Sobri menggeleng.
"Gue langsung aja, lagian rumah gue dekat dari sini,"Sobri nyengir.
"Ya udah, sampai besok ya,"      
***
Yanto memasuki rumahnya dari pintu samping setelah terlebih dulu meletakkan kotak amalnya di gudang. Badannya bau peluh. Ingin rasanya langsung bertemu air dan mandi, membasahi raganya yang pasti sangat banyak kotoran ini. Tapi kerongkongannya haus. Niat ke kamar mandi ia urungkan. Di bukanya kulkas. Di ruang keluarga orangtuanya tampak serius menonton televisi.
"Gimana sih pemerintah, bencananya sudah tiga hari tapi bantuan belum ada yang sampai ke tangan yang berhak. Jangan-jangan di korupsi lagi!"cetus bapak.
"Sudah jelas itu Pak, lha wong pemerintah bilang sudah mengucurkan bantuan. Memangnya Yogya sejauh apa sih, sampai berhari-hari belum sampai juga,"kata ibu gemas. Mau tak mau Yanto ikut bergabung juga dengan diskusi menarik itu.
"Kenapa, Bu?" Ibu menoleh sebentar lalu kembali matanya menyorot tajam layar kaca.
"Kamu ya jadi mahasiswa harus sigap. Kalau ditunggu kinerja pemerintah kasihan yang kena bencana. Mereka sudah kelaparan, kedinginan, luka parah. Masak iya untuk membantu saja harus ngejlimet gitu urusannya. Aku yang bodoh atau pemerintah yang terlalu pintar ya Pak?"kata ibu nelangsa. Tiba-tiba Yanto merasa tertohok.
"Di DPR juga ributnya masalah pemberian nama, apakah ini bencana nasional atau nggak. Duh, kalau gini terus bagaimana mereka bisa ditangani dengan cepat?" Bapak menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa sekali-kali mereka ditimpa musibah dulu biar bisa ngerasain penderitaan orang?"tanya ibu kenes.
"Ya nggak gitu Bu, mungkin bantuannya aja yang belum merata, jadi dibesar-besarkan oleh pers,"Yanto berusaha meredam suasana yang sudah mulai panas.
"Lihat tuh lihat, truk-truk bantuan diserbu warga, kelihatan kan kalau mereka nggak dibuat-buat. Mereka benar-benar kelaparan. Jangan sampai warga yang masih hidup menyusul mereka yang sudah mati akibat reruntuhan!"mata ibu berkaca-kaca. Tak lama setetes bening mengalir di wajahnya yang mulai keriput.
"Ibu nggak bisa ngebayangin gimana kalau anak-anak ibu di sana,"isak ibu pelan. Bapak segera mematikan TV. Matanya juga sudah mulai merah.
"Kamu tahu di mana ibu bisa menyalurkan bantuan?"tanya ibu tiba-tiba. Yanto tergeragap.
"Sama Abang aja Bu, beberapa hari ini Yanti lihat Abang sibuk ngadain penggalangan  dana sama temannya!"seru Yanti yang ikutan berbaur. Yanto melotot ke arah adik bungsunya itu. Tapi Yanti melengos dan terus aja bicara.
"Hari ini kok Abang nggak ada lagi di halte dekat kampus Yanti?"pertanyaan Yanti membuatku seperti disambar geledek. Yanto baru ingat kalau halte tempat dia mangkal bersama Sobri untuk PEDULI YOGYA dekat dengan kampus adiknya itu. Yanto lupa, benar-benar lupa. Tadinya dia pikir tempat itu sudah paling jauh dari kampusnya di Senen dan rumahnya di Lenteng Agung.
"Oh, jadi kamu sudah punya inisiatif untuk membantu Yogya? Bagus-bagus. Kalau gitu lebih baik Bapak salurkan saja bantuan lewat kamu,"kata Bapak sambil menepuk-nepuk pundak Yanto. Matanya menyiratkan kebanggaan. Tapi membuat Yanto tidak berkutik dan seperti terhempas ke kubang kehinaan.
"Ibu juga punya baju-baju bekas layak pakai, nanti ibu kasih. Tadi siang sudah ibu pisahkan. Tak ibu sangka ternyata diam-diam kamu langsung bertindak,"ibu menatap Yanto lekat dengan senyuman khasnya. Yanti tersenyum-senyum. Yanto yakin dia tidak sengaja membuatku seperti ini, tepatnya tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya membuat Yanto seperti pesakitan.
"Nanti aja dilanjutkan lagi ya Pak, Bu. Yanto mau mandi dulu, gerah!"kata Yanto sambil berlalu ke kamar mandi.
Usai mandi pikiran Yanto menerawang. Bapak dan ibu masih menonton berita. Mereka baru beranjak setelah sajian berita di televisi usai, berganti dengan sinetron-sinetron picisan.
Dia meremas rambutnya untuk menghalau pusing yang mulai merayapi kepalanya. Badannya panas dingin mengingat harapan-harapan ibu dan bapak. Ditendangnya sudut kaki meja belajar.
"Aaooww…," Yanto menjerit kecil. Ring tone lagu Demi Waktu-nya Ungu mengalun dari ponsel Yanto. Sobri?
"Kapan? Besok? Boleh. Aku siap-siap malam ini!" Yanto segera berlari keluar kamar.
"Bu, baju untuk korban Yogya bisa dibungkusin sekarang?"
"Pak, kalau teman-teman bapak mau nyumbang, secepatnya ya. Besok jam sepuluh pagi aku dan teman kampusku berangkat ke Yogya," Mendengar kata-kata Yanto, Bapak, Ibu dan Yanti bergerak cepat. Tak terkecuali Iyah, pembantunya. Malu-malu ia menyerahkan uang dua puluh ribu.
"Iyah, cuma bisa bantu segini, Mas," Mata Yanto memanas. Kembali terbayang di ingatannya uang pemberian orang-orang di halte yang sudah di hambur-hamburkannya. Makan-makan, beli kaset VCD. Padahal orang-orang yang memberikan sumbangan itu sangat berharap banyak bantuannya sampai kepada yang berhak. Ide gila yang harus ditembus dengan sejuta penyesalan. Yanto tidak mau orang tuanya tahu kalau anaknya punya bibit-bibit korupsi. Mahasiswa yang pandai berkoar hapuskan korupsi malah melakukan perbuatan bodoh itu. Mungkin Sobri sudah sadar, buktinya tadi dia mengajak Yanto jadi sukarelawan ke Yogya. Yanto nggak tahu kenapa Sobri cepat insyaf. Yanto nggak perlu tahu. Buktinya Yanto juga tersadar dengan percakapan ringan tadi. Apakah ini yang namanya hidayah? Tiba-tiba Yogya tempatnya KKN dulu sudah bermain diingatannya. Tiba-tiba Yanto merasa sangat dekat dengan kota kenangan itu. Yogya, I'Coming.
Jakarta, 31 Mei 2006
By: Puan
Cerpen ini dimuat di majalah Sabili tahun 2006






CERPEN

                                        PARDI INGIN DUDUK

            Jess...jess...jess...suara  laju kereta ekonomi berpadu dengan suara pedagang-pedagang yang bersliweran menawarkan dagangannya. Pardi merapatkan tubuhnya, memberi jalan pada penjual jeruk. Sore yang indah tidak dapat dinikmati semua penumpang kereta. Padatnya muatan membuat  semua orang berfikir untuk segera tiba di tujuan. Diluar, pohon-pohon dan rumah saling berkejaran seperti memburu waktu. Bau-bau keringat penumpang tumpah jadi satu, menebarkan aroma tak sedap yang mengusik-usik bulu hidung.
            Pardi melirik penumpang  di depannya yang mengangguk-angguk menahan kantuk. Senja yang temaram ditambah angin semilir yang masuk lewat jendela membuat mata sulit diajak kompromi.  Angannya melambung. Keinginannya untuk dapat duduk sangat kuat. Selama  menyicipi kereta, belum pernah sedetik pun dia merasakan nikmatnya duduk diantara kepadatan penumpang. Pfuih…Pardi menarik nafas panjang.
            Bulan lalu kontrakannya di Kalibata habis dan untuk memperpanjangnya didaerah yang sama dia tidak sanggup. Upahnya sebagai  buruh pabrik elektronik tidak jauh dari tempat tinggalnya hanya cukup untuk mengontrak  rumah petak  di daerah pinggiran Jakarta.  Biaya hidup yang semakin tinggi memaksa bujangan yang baru beberapa tahun di Jakarta itu memutar otaknya. Akhirnya ia sampai ke Bojong Gede. Ratno, sepupuhnya yang dagang minuman di stasiun Depok baru yang memberinya kabar.
            Kini genap sebulan Pardi menghirup udara Bojong Gede dan sebulan pula ia menikmati  perjalanan kereta api yang dirasanya kian hari semakin penuh sesak. Sejak 30 tahun lalu ia belum pernah merasakan pertarungan mendapat tempat di dalam kereta. Desa Gunung Kidul tempat ia melalui masa kecilnya tidak menyediakan transportasi kereta api. Jangankan kereta, angkot dan bis pun hanya satu-satu. Semua itu tidak membuatnya ingin mencoba. Pengalaman teman-temannya yang sudah pernah mengecap kehidupan kereta sangat tidak menyenangkan. Tidak sedikit dompet teman-temannya yang hanya buruh seperti dirinya raib dari tempatnya. Menjamurnya pencopet bukan  rahasia umum lagi.  Apalagi di kereta yang merupakan  tempat rawan bagi si panjang tangan beraksi.                                                                      
            “ UI...UI...yang turun di stasiun UI siap-siap!”suara-suara penumpang membuat Pardi tersadar dari lamunan. Dilihatnya keluar. Kereta baru saja meninggalkan stasiun Lenteng Agung.
            “Masih lama, masih ada enam stasiun lagi!”desahnya lirih. Orang didepannya tampaknya begitu lelah. Derit rem dan bisingnya suara penumpang tidak kuasa mengusik tidur  lelaki paruh baya itu. Perempuan yang duduk disebelah lelaki itu masih cekikikan dengan beberapa rekannya. Orang-orang disekitarnya merutuk-rutuk karena suaranya yang terus berkicau menambah gerah suasana. Pardi terus menanti-nanti. Dia melamun lagi. Seandainya dia dapat duduk, dia akan tidur nyenyak. Dia tidak akan peduli dengan orang sekitar, tidak peduli dengan perutnya yang mulai berbunyi meminta jatah untuk diisi. Seandainya...ah, seandainya...ups...hampir saja Pardi terjungkal kesamping kalau saja ia tidak langsung berpegangan pada besi diatas kepalanya. Masinis mengerem mendadak. Para penumpang bersungut-sungut. Pardi merasakan jantungnya berdegup kencang. Langit sudah mulai gelap. Malam menjelang. Sayup-sayup suara adzan magrib mengalun mengisi rohani yang hampa. 
Kereta meninggalkan stasiun Depok Baru. Penumpang tidak sesesak seperti pertama kali  ia naik. Namun, tempat duduk masih saja penuh. Pardi menggeser tubuhnya ke pintu. Stasiun Bojong Gede  sudah hampir dekat. Dan ketika kereta benar-benar berhenti  di Stasiun Bojong Gede, Pardi lemas. Keinginannya untuk duduk hari ini  menguap seiring langkah gontainya meninggalkan kereta. Bapak paruh baya yang duduk di depannya  tadi masih terlelap tidur.
***
            “Gimana sih Rat, rasanya duduk di kereta?”tanya Pardi usai menyantap makan malam. Ratno yang malam ini mampir kekontrakannya berhenti menyuapkan nasi kemulut. Dipandanginya Pardi yang menatapnya lekat.
            “Ha..ha...koe nanya apa nguji sih Par, ha..ha..ha...!” Ratno tergelak menahan geli. Pertanyaan Pardi sungguh kekanak-kanakan.  Diteruskan kembali makannya. Sambil makan Ratno terus saja tertawa.
            “Huk...huk..., minum Par, minum, huk..!”kerongkongan  Ratno tercekat. Buru-buru Pardi menuangkan air kendi, oleh-oleh dari Jawa, kegelas plastik. Glek! Sekali  teguk tandaslah isi gelas. Pardi menggeleng-gelengkan kepala.
            “Ditanya mbok ya serius. Ini akibatnya kalau mentertawakan orang!”Pardi mengangkat piring bekas makannya ke belakang. Air keran mengucur deras  membasuh piring-piring kotor yang ditinggalkannya tadi pagi.
            “Maaf, Par, aku kira kamu bercanda!”teriak Ratno dari depan.
            “Jadi gimana?” Pardi membalas berteriak.
            “Apanya?”Ratno masih nggak nyambung.
            “Supaya dapat duduk di kereta gimana caranya?”suara Pardi mulai terdengar gusar.
            “Oh...naik aja dari Bogor, gampang kan?”Ratno tersenyum menang. Pardi mendengus. Tidak dihiraukannya lagi kata-kata Ratno. Dibaringkan badannya diatas kasur. Badannya terasa pegal-pegal karena kerja seharian, ditambah perjuangannya yang cukup berat  untuk mampu bersaing  di kereta. Begitu berbaring diatas kasur tipis, Pardi langsung terkapar.  Hari  kian larut. Malam dibalut kegelapan.
***
            Wajah Pardi mendung. Tadi pagi ia dimarahi bosnya karena telat datang ketempat kerja. Kereta yang biasa ditumpanginya terlambat tiba di stasiun Bojong Gede. Bosnya marah besar karena Pardi baru sampai pukul 08.30, telat tiga puluh menit dari biasanya. Dia dibilang mulai bosan kerja dan  tidak disiplin. Kata-kata bosnya dia telan pahit-pahit bersama rasa sakit  hati. Pardi baru sekali ini terlambat. Tak satupun dia absen semenjak  bekerja   diperusahaan elektronik ini dua tahun lalu. Meskipun begitu dia simpan rapat-rapat  semua gundah yang ada dihatinya. Sebagai buruh dia pasrah menerima kenyataan. Saat ini yang dia membutuhkan  uang untuk biaya emaknya yang sakit di desa.  Pikirannya tidak fokus. Langkahnya gontai.
            Pukul 17.10. Suasana stasiun Kalibata masih saja ramai.  Gerombolan anak sekolah dengan seragam SMU tampak menguasai bangku-bangku besi  disepanjang stasiun. Banyolan khas para remaja mengisi ruang hati Pardi yang hampa.
            Pardi terus berjalan keujung. Pandangannya kosong. Wajah emaknya yang terbujur lemah karena TBC yang mengerogoti  hampir sepuluh tahun menari-nari dibenaknya. Pardi merasa bersalah  meninggalkan emaknya  yang hanya  ditemani adiknya yang baru tamat SMP. Tapi, tekadnya yang kuat untuk merubah nasib membawanya ke kota metropolitan.
            Teng...nong...neng...nong... suara sirene khas yang menandakan kereta tiba telah berbunyi. Pardi sedikit membungkuk, memastikan kedatangan kereta dari arah utara. Para penumpang bersiap-siap untuk naik. Pardi tidak mau kalah. Sebulan waktu yang cukup baginya memahami kondisi kereta  Hup! Sigap dia melompat masuk begitu pintu kereta tepat berhenti didepannya. Pardi menggeser badannya kedalam. Dia menghindar dari pintu. Di Pasar Minggu, biasanya banyak penumpang yang akan naik. Dia tidak mau badannya jadi sasaran empuk aksi dorong-dorongan.   Pardi terus bergerak, selip kanan, selip kiri. Usahanya  tidak sia-sia. Dia berhasil merangsek hingga dekat dengan penumpang yang duduk.
            Pardi mengusap peluh yang mengalir deras diwajah dan lehernya yang keling. Tangannya mengipas-ngipas. Udara panas cepat menyebar, membawa bau khas aroma manusia yang bekerja sepanjang hari. Pedagang koran tidak letih menjajakan barangnya. Sore hari koran di jual setengah harga untuk penghabisan. Pedagang buah  tiada berkeluh kesah. Keranjang-keranjang yang masih penuh stoknya dijinjing melewati  para penumpang yang berdiri berdesak-desakan.
            Pardi menatap penuh harap pada wanita yang duduk gelisah di depannya. Sekali-sekali mata perempuan berkulit putih itu melihat keluar, seolah takut kelewatan turun di stasiun yang salah. Wanita itupun bertanya pada penumpang disebelahnya. Setelah berterima kasih, perempuan itu bangkit. Pardi merasa mendapat durian runtuh. Harapannya untuk merasakan duduk di kereta akan terwujud. Bangku kosong  bekas perempuan tadi menjadi incaran para penumpang yang berdiri. Pardi segera mengambil kesempatan. Ia bangga harapannya selama ini terkabulkan. Hatinya bersuka ria. Bayangan marah bosnya tadi pagi sejenak sirna. Pardi begitu menikmati tempat duduknya. Sapuan angin  senja yang menyisir rambutnya  membuat dirinya seperti dimanjakan.
            Kereta terus melaju membelah rel-rel besi yang membujur  sampai ke Bogor. Benar saja, di Pasar Minggu penumpang berjubel. Perempuan dan laki-laki saling sikut untuk berebut  masuk. Pardi merasa  enak dapat duduk. Dia tidak harus bergeser kekanan dan  kekiri, berdesak-desakan dan terjungkal  ketika masinis seenaknya  menarik rem. Dia benar-benar merasa di awan.
            Menjelang  tiba di Poltangan, para penumpang ribut. Bunyi gemuruh dari atas gerbong  membuat para penumpang histeris.
            “Tutup jendela!”teriak Bapak-bapak. Pardi masih tidak menyadari bahaya yang menghampirinya. Dia masih dibuai nikmatnya duduk dibangku. Pikirannya masih terbang. Para penumpang berjongkok. Kehebohan dan suara bising yang lain dari biasanya menyadarkan Pardi. Tapi terlambat, sebuah batu yang dilemparkan anak-anak sekolah yang sedang tawuran dari arah Poltangan, melayang tepat mengenai kepalanya. Darah mengucur deras. Orang-orang histeris. Pardi merasakan kepalanya pening dan selanjutnya ia rasakan semuanya gelap.
By: Murhijriatul Muslim


Cerpen dimuat dimajalah Sabili tahun 2004

Senin, 05 Maret 2012

CELOTEH ANAK


                                                   MUBAZIR
Aku sering mengatakan kepada Ammar (4 tahun 6 bulan), sulungku, kalau makan tidak boleh mubazir karena mubazir itu temannya setan. Selain itu kasihan abi yang sudah bekerja mencari uang, pergi pagi pulang malam.
”Mubazir itu apa, Ma?” tanya Ammar suatu hari.
”Mubazir itu, membuang-buang makanan seenaknya. Itu sama saja tidak sayang abi.” Kataku. Ammar mengangguk-angguk tanda mengerti.
Suatu hari Ammar batuk. Batuknya tidak juga berhenti. Aku memberinya jeruk nipis dengan kecap karena untuk batuk biasa saya tidak membiasakannya memakai obat kimia. Untuk sementara Ammar beristirahat dan tidak pergi sekolah supaya teman-temannya tidak ketularan dan Ammar bisa cepat pulih.
Dua hari di rumah, Ammar minta masuk sekolah lagi. Aku tidak masalah karena batuknya juga sudah reda. Aku menasihatinya agar tidak jajan sembarangan. Kepada gurunya aku katakan kalau Ammar tidak masuk karena batuk. Jadi tolong dilihat agar Ammar tidak jajan sembarangan. Kekhawatiranku beralasan, karena di sekitar sekolah Ammar banyak bersliweran tukang jajanan yang bagiku tidak sehat. Namun bagi anak-anak itu jajanan yang menggiurkan. Aku tidak pernah memberi Ammar uang untuk jajan, tapi ada saja temannya yang berbagi dengan membelikannya jajanan.
Waktunya pulang sekolah dan aku sudah menunggu lebih dari sepuluh menit. Tiba-tiba Bu Inez, guru Ammar, mendatangiku dengan wajah khawatir dan rasa bersalah.
”Mama, maaf tadi Ammar jajan gulali. Saya suruh buang tidak mau.”
“Oh, iya tidak apa-apa, Bu.” Kataku sambil tersenyum. Meski begitu hati saya ciut juga mengingat batuk Ammar yang belum reda benar. Tapi aku menahan untuk tidak langsung menanyakannya. Di rumah saat makan siang, baru aku tanyakan apa yang disampaikan Bu Inez tadi.
”Kok tadi jajan gulali, Nak?”
”Dibelikan Raya, Ma. Ammar bilang nggak mau tapi tetap dibelikan. Kan Raya baik.”
”Iya, Raya memang baik tapi kan Ammar bisa bilang kalau Ammar lagi batuk jadi tidak boleh makan gulali,” kataku lagi. Ammar diam, tidak menjawab.
”Waktu ibu Inez suruh buang kok Ammar nggak mau?”
“Kata mama kan nggak boleh buang-buang makanan, nanti mubazir, ya udah Ammar habisin aja.” Kata Ammar dengan polos.
Aku terhenyak. Tidak menyangka bahwa Ammar mengingat apa yang pernah aku katakan. Di satu sisi aku senang karena ternyata Ammar merekam baik-baik apa yang aku katakan. Disisi lain ternyata Ammar belum paham mana yang dikatakan mubazir  mana yang tidak. Lalu perlahan aku jelaskan kalau mubazir di sini maksudnya makanan yang baik yang tidak membuat penyakit. Allah menyuruh kita makan-makanan halal dan baik yang tentu saja menyehatkan. Kalau makanan yang tidak sehatkan kasihan tubuh kita. Ammar boleh makan gulali tapi setelah sehat dan tidak batuk. Dan gulalinya juga gulali yang tidak pakai zat pewarna dan pemanis buatan. Mendengar penjelasanku Ammar lagi-lagi mengangguk. Kupeluk dia dalam dekapanku. Bersyukur aku dikaruniai putra yang cerdas.
Depok, 9 Juni 2011

MAU MASUK TV
Ammar senang sekali menonton TV. Tentu setelah menonton ada saja adegan yang ditirunya. Karena itu aku sangat menseleksi tayangan yang pantas ditontonnya. Bagaimanapun yang namanya anak-anak tidak bisa memilah mana tayangan yang bagus atau tidak.
Suatu hari aku kecolongan. Ammar yang biasanya berkata baik tiba-tiba menjadi kasar bicaranya. Ketika aku Tanya siapa yang mengajarkan, Ammar bilang Wonder Wadon di super hero. Karena penasaran akhirnya aku ikut menonton. Baru menonton sebentar, aku sudah menilai kalau film itu tidak layak ditonton oleh anak-anak. Pakaian dan bicara yang tidak pantas membuat tayangan ini kularang ditonton. Ammar menurut, meski kadang-kadang dia masih merayuku.
”Sekali aja ya, Ma!” pintanya. Aku menggeleng.
”Tidak boleh!” kataku tegas. Sekali tidak boleh tetap tidak boleh. Tidak bisa ditawar lagi. Sekali saja kita memberi kesempatan, maka anak akan memintanya lagi dan lagi.
”Kenapa tidak boleh?” Ammar masih belum terima.
”Karena bicaranya tidak sopan. Pakaiannya juga mengumbar aurat. Anak mamakan anak yang sholeh jadi tidak boleh menonton acara yang tidak baik,” jelasku.
Suatu hari Ammar mendatangiku yang sedang memasak.
”Ma, Ammar mau dong masuk TV!”
Wah, permintaan yang cerdas. Pikiranku berkelana. Jangan-jangan Ammar berminat main sinetron kayak Baim, atau presenter di televisi. Tapi kok tiba-tiba ya. Penasaran, langsung kutanyakan alasannya.
”Memangnya kenapa Ammar mau masuk TV?”
”Ammar masuk TV, tapi di Super Hero.”
What? Ternyata masih nggak jauh-jauh dari Super Hero.
“Ammar mau bilangin ke orang-orang di Super Hero, jangan ngomong elo, gue, kurang ajar. Biar anak-anak bisa nonton. Bajunya juga yang nutup aurat.”
Kata-kata Ammar membuatku terharu. Aku memang membiasakan berkata-kata yang baik. Ammar jadi janggal kalau ada orang yang berkata kasar dan jorok. Dia langsung menyuruhku menegur orang itu. Di rumah juga aku selalu mengajarkan menutup aurat. Untuk perempuan memakai jilbab jika keluar rumah dan laki-laki tidak dibiasakan memakai celana pendek apalagi celana dalam meskipun di dalam rumah. Tak kusangka apa yang aku terapkan mengena di hati anak-anakku. Aku ingin niatku menjadikannya anak yang sholeh tercapai. Amin.
Depok, 9 Juni 2011