Senin, 23 September 2019

MENGUNGSI KE MEDAN

Pertama kali mendengar kabar suami di promosikan (Kamis, 25 Agustus 2019) yang akhirnya berujung pada pemindahan daerah dinas, aku shock. Sebenarnya sejak awal tahun ini suamiku sudah mewanti-wanti pindah karena dia sudah dua tahun di Pekanbaru. Membahas itu aku nothing to lose. Biasa saja, bukankah semu itu belum pasti. Bisa iya, bisa juga tidak.

Tapi apa nyana, saat berita itu tiba, tetap saja shock dan sedih. Banyak yang harus ditinggalkan di kota Pekanbaru. Teman-teman dari berbagai latar belakang, lingkungan rumah, sekolah, guru-guru bahkan termasuk teman-teman dari anak-anakku. Kesedihanku semakin bertambah saat anak-anakku menolak dengan tangisan. Aku merasakan apa yang anak-anakku rasakan. Sangat. Karena itu, aku berusaha meredam kesedihan ini dan berusaha menghibur mereka hingga mereka pun menerimanya. Sedangkan aku? aku shalat istikharah, menyerahkan smeua keputusan pada Allah. Selain itu aku meminta saran dari berbagi pihak. Memang selalu ada pro kontra. Yang pro mengatakan, jalani saja semuanya dengan ikhlas insyaAllah ada kebaikan di dalamnya. Sedangkan yang kontra mengatakan, kasihan anak-anak harus beradaptasi lagi, berjauhan dengan suami bukan hal yang buruk kan? Banyak juga yang menjalaninya dan semua baik-baik saja.

Seiring berjalannya waktu, hatiku semakin mantap untuk ikut suami ke Medan. Namun, suami tak kunjung sertijab (serah terima jabatan) karena kesibukan internal. Dalam sebulan, tiga kali bolak balik ke Jakarta untuk meeting dan training. Maqil, anak keduaku yang sudah menyebar berita kepindahannya pada teman-teman sekolahnya, malah tak sabaran ingin segera pindah. Begitu juga dengan si kecil Fatih. Sedangkan aku sendiri merasa lebih tenang saat menyicil packing barang untuk pindahan nanti karena tak diburu-buru waktu.

Tanggal 2 September 2019, suami akhirnya berangkat ke Medan untuk sertijab. Dimulailah Long Distance Relationship (LDR) kami. Karena terbiasa ditinggal dinas oleh suami, aku dan kedua anakku tidak mempermasalahkannya.  Namun masalah dimulai saat asap semakin terasa pekat. Dari Medan suami menyarankan ini itu seperti menyetok susu beruang, minum madu hingga berdiam di rumah. Aku tahu, dia sangat cemas namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku melaksanakan semua perintahnya. Bahkan untuk menghindari anak-anak bermain di rumah, kunci rumah kusimpan ditempat yang sulit dijangkau. AC di kamar pun hampir tak pernah dimatikan.

Namun asap tak bisa dicegah memasuki rumahku yang semaksimal mungkin kututup rapat. Setiap pagi, aku harus menyapu sisa-sisa abu pembakaran yang berserakan di belakang rumah. Pakaian yang kucuci dan kujemur selalu bau asap. Setiap pagi, matahari enggan menampakan sinarnya, nuansa abu-abu menyeruak di langit yang dulu biru. Kepalaku mulai terasa sering pusing. Tenggorokan sakit dan kering. Maqil, matanya selalu saja penuh kotoran dan merah. Malam ketika tidur, aku menyaksikan kedua putraku batuk kering tak henti-henti.

Hari Rabu, 11 September 2019, sekolah anak-anakku resmi diliburkan. Ketika itu sekolah yang lain sudah terlebih dahulu diliburkan. Dua hari full kami berdiam di dalam rumah. Aku sama sekali tidak pergi keluar. Kuhabiskan bahan-bahan yang ada di rumah untuk menyiapkan makanan. Saat persediaan bahan habis untuk diolah, akupun beralih memakai jasa pemesan makanan by ojek online ( terima kasih sebesar-besarnya untuk ojek online ^^).

Asap semakin pekat. Kali ini sebagian rumahku sudah terasa penuh dengan asap, kecuali kamarku yang tak henti-hentinya menyalakan ac. Kulit terasa kering, mata semakin perih serta kerongkongan dan tengorokan kian pedih. Rasa tidak enak itu kutahan karena beberapa hari lagi suamiku akan pulang ke Pekanbaru.

Qadarullah, besoknya tanggal 12 September 2019 saat bangun pagi, hatiku tiba-tiba tergerak untuk mengungsi ke Medan. Saat suamiku menelepon untuk menanyakan kondisi aku dan anak-anak, langsung kukatakan niatku. Suami setju. Dia meng-cancel tiket kepulangannya ke Pekanbaru dan akan menjemputku dan anak-anak di Bandara Kualanamu, Medan.

Siang menjelang sore bahkan hingga Malam, asap semakin pekat. Asap itu bergerak seperti orang yang membakar sampah tak jauh dari komplek, saking pekatnya. Meski dengan kondisi demikian, aku masih menghadiri undangan pengajian tetanggaku pada malam hari yang akan menikahkan anaknya. Masker melekat menutupi mulut dan hidung. Anak-anak kupesankan untuk tidak ke luar rumah. Di pengajian, aku sekalian ijin mengungsi ke esokan harinya. Pulang dari pengajian aku packing hingga larut malam. Saat tidur, aku gelisah. Entah kenapa. Sehingga saat subuh terjaga, badanku masih terasa lelah.

Penerbangan ke Medan menggunakan lion air, pukul 09.20 wib. Satu-satunya pesawat yang ke Medan hari itu. Aku sudah tiba di bandara pukul 08.30 wib. Saat memasuki ruang tunggu, tempat itu sangat padat dengan calon penumpang. Ternyata hampir semua pesawat yang terbang pagi itu delay. Bahkan aku mendengar calon penumpang yang harusnya terbang jam 6 pagi, masih belum berangkat. Di landasan, tak satupun pesawat yang mendarat. Asap sudah membatasi jarak pandang semakin pendek.

Aku berdoa pada Allah, memohon segala kebaikan. Karena dengan ijin dari-Nya, baru semua akan terjadi. Pukul 11.00 wib, satu persatu pesawat mendarat dan satu persatu berangkat menuju daerah tujuan. Begitu juga dengan pesawat yang akan aku tumpangi. Jam setengah dua belas siang aku sudah berada di dalam pesawat meninggalkan bandara Sutan Syarif Kasim II. Satu jam penerbangan aku tiba di bandara Kualanamu, Medan dan bertemu suamiku.

Selama di Medan kami terus memantau perkembangan cuaca dan kondisi udara di Pekanbaru. Namun, hari demi hari kondisi semakin bertambah parah. Korban banyak yang berjatuhan. PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menjadi pionir dibukanya posko pengungsian yang tiap hari semakin bertambah jumlah pengungsinya. Pemerintah? Entahlah. Bagaimana hendak menolong, bahkan ada pejabat pemerintah yang mengatakan kalau kebakaran di Riau tidak separah yang diberitakan :(  Kemana perginya hati nurani mereka. Sekedar bersimpati dan empati itu cukup bagi para korban. Doakan saja agar kami sabar dalam menjalani musibah ini. Kalaupun tidak mau, cukup diam. Minimal tidak membuat hati kami semakin sakit.

Kini, sudah sebelas hari aku mengungsi ke Medan. Pekanbaru-ku memasuki fase #riaudaruratasap . Entah sampai kapan semuanya akan berakhir.

Namun aku yakin, semuanya tidak lepas dari campur tangan Allah. Ada rencana-Nya yang tidak kita ketahui. Sebagaimana rencana-Nya mengirim suamiku pindah dinas ke Medan.


       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar